Novel Siniar Merah by Rino Evans

Novel Siniar Merah by Rino Evans
Photo by BRUNO CERVERA / Unsplash

Novel Siniar Merah by Rino Evans – Setelah sukses menyelesaikan kasus Signature Dish, AKP Arga Wibisana dipindahkan ke ibu kota untuk mengungkap misteri penculikan yang menggemparkan tahun lalu, kasus Siniar Merah.

Jejak yang kabur dan rahasia yang tersembunyi membuat Arga terlibat dalam penyelidikan yang semakin rumit. Dia harus menyusun kembali petunjuk-petunjuk tersembunyi dan memecahkan teka-teki yang menghantui korban dan tersangka.

Arga kemudian mengikuti petunjuk dari penyelidik sebelumnya, Ipda Tami Aulia, untuk memasuki dunia gelap di balik podcast yang misterius. Semakin ia menggali, semakin dalam pula rahasia yang terungkap.

Namun, saat pelaku berhasil ditangkap, keberadaan pelaku masih menjadi tanda tanya besar.

Empat tahun berlalu tanpa kabar, sampai akhirnya sebuah penemuan mengerikan mengubah segalanya.

Bisakah Arga mengungkap kebenaran yang terkubur, ataukah Siniar Merah akan tetap menjadi kasus yang tak terpecahkan?

Teaser Novel Siniar Merah

“Gak ada salahnya milih buat jadi mandiri,

Milih buat ngelakuin apa-apanya sendiri.

Tapi gak ada salahnya juga sesekali cari bahu buat sandaran bentar aja,

Sebelum berdiri lagi buat kembali menantang hari.”

- Podcast Bunga Teratai Ep.18: “Memilih Sendiri” -

***

Kalau dipikir-pikir, mengagumkan bagaimana malam hari dapat bercerita lebih banyak tentang kepribadian orang lain dibandingkan siang hari. Saat matahari berada di atas kepala, orang-orang terlalu tampak sibuk untuk terlihat sebagai versi terbaik dirinya. Membiarkan hanya gelapnya malam yang mengetahui hal-hal lain yang mereka anggap kurang elok, jauh dari pandangan-pandangan yang mungkin akan menghakimi.

Misalkan saja Cindy yang duduk di baris kedua dari depan sana. Meski terkenal dengan kecantikannya yang tampak natural, kita tidak tahu bagaimana ia mungkin saja menghabiskan waktu malamnya dengan puluhan skincare untuk merawat kulitnya.

Contoh lainnya Ferdinand, sang mahasiswa kesayangan dosen yang tidak pernah dapat nilai di bawah A dari semester satu. Entah sampai jam berapa ia terjaga tiap malam untuk melahap setumpuk jurnal dan buku acuan yang diberikan dosen.

Atau Arya yang saat ini tengah asyik mendengkur di sebelah kirinya padahal dosen masih sibuk menjelaskan di depan.

Yah, kalau yang satu ini tidak perlu dipertanyakan, sih. Paling-paling pemuda itu begadang menemani Kak Dani bermain PES semalaman atau membantu Galang memilih lagu baru untuk di-cover di laman YouTube-nya. Sebagai teman kecil merangkap sahabat terdekat sang pemuda, Kesa sudah hafal di luar kepala soal kebiasaan-kebiasaan Arya tersebut.

“Apa lo liat-liat?”

Kesa memutar bola matanya malas sambil kembali memfokuskan pandangan kepada dosen. Sebenarnya, Arsitektur Modern yang menjadi mata kuliah pagi ini bukan kesukaannya, tapi sang gadis menolak untuk menyahuti sahabatnya yang terdengar tengah menguap tersebut.

“Kalo suka mah bilang aja. Jangan diliatin doang,” ujar sang pemuda sambil setengah berbisik agar tidak mengganggu jalannya kelas.

“Najis,” jawab Kesa dengan cepat yang lantas membuat Arya terkekeh. “Lagian lo anak Teknik Sipil ngapain sih di kelas gue?”

“Dih, emang gak boleh gue ikut belajar Arsitektur?” Arya membela diri, tampak tidak mengindahkan tatapan sinis yang dilemparkan Kesa kepadanya.

“Ya bukannya gak boleh. Tapi kan–”

“Nah, ya udah. Sekarang diem, ntar ketauan dosen.”

Kesa berdecak dan memilih untuk kembali acuh atas apapun yang akan dilakukan pemuda di sampingnya tersebut. Toh, ini sebenarnya bukan kali pertama Arya datang dan ikut menghadiri kelasnya secara ilegal.

Dari sudut matanya, sang gadis dapat melihat tangan Arya yang terjulur mengambil cup berisi Iced Americano miliknya yang diletakan dekat kaki. Pemuda itu tampak menyedot isinya sedikit sebelum wajahnya mengernyit dan memasang ekspresi jijik.

“Bleh, gak enak.”

“Gak ada juga yang nyuruh lo minum, sih.”

Arya lekas kembali mengembalikan cup tersebut ke tempat semula sambil masih mengecap-ngecap mulutnya, mungkin berusaha menghilangkan rasa pahit akibat minuman tersebut, “lo kenapa sih ngerasa perlu minum kopi tiap pagi?”

Mengetahui ke mana arah pembicaraan pemuda tersebut, Kesa memilih bungkam sambil pura-pura kembali memperhatikan dosen.

“Sebenernya, kalo semalem lo nyoba tidur walaupun sejam, lo gak bakal butuh kopi buat—“

“Arya, stop,” ujar Kesa penuh penekanan, “masih pagi. Gak usah ngajak ribut.”

Sang gadis tahu bahwa sahabatnya tersebut pasti masih ingin mendebatnya perkara ‘kopi sebagai sarapan’ atau perkara waktu tidurnya. Tapi Kesa juga tahu bahwa Arya mengerti dirinya akan menjadi sangat defensive dan pembicaraan ini akan berujung mereka akan mendiamkan satu sama lain sepanjang hari.

“Sori, Kes. Gue gak maksud. Gue cuma–”

“Khawatir.” Sang gadis lebih dulu memotong ucapan sang pemuda, “Iya, gue tau. Gak apa-apa.”

Dari sampingnya, Kesa dapat mendengar Arya menggumam sebagai respo“Layanan darurat 110, apa keadaan darurat Anda?”

Kiki Yudistira baru saja melakukan panggilan darurat 110 yang tersambung ke polisi. Dia dalam kondisi terancam. Seorang misterius mengejar sembari menodongkan pisau belati ke arahnya.

Awalnya Kiki menghubungi salah seorang podcaster untuk berdiskusi. Kebetulan Kiki bersama beberapa kawan di sekolah tergabung dalam ekstrakurikuler jurnalistik yang dipercaya mengurusi podcast sekolah. Sehingga Kiki ingin mencari referensi dari podcast-podcast lain untuk pengembangan podcast miliknya.

Setelah mendapat balasan email dari Si Podcaster, mereka janjian di salah satu kedai kopi. Namun baru saja sampai di parkiran, Kiki dicegat oleh orang misterius memakai jaket hoodie dengan buff yang menutupi wajah. Kiki tunggang langgang kabur dari orang misterius itu.

“To-tolong saya!” sahut Kiki panik dengan napas terengah-engah. Ia terus berlari sembari sesekali melirik ke arah si orang misterius. Orang itu masih mengejar Kiki. “Dia mengejar saya!”

“Baik, dengan siapa saya berbicara?” ujar si operator membalas. Hening beberapa saat, si operator kembali berucap. “Apakah saya berbicara dengan Kiki Yudistira?”

“Iya.”

Lalu si operator menanyakan kronologis kejadian darurat yang menimpa Kiki. Pemuda itu menceritakan detail kejadian, ucapannya tak begitu jelas sehingga si operator beberapa kali meminta Kiki untuk mengulangi apa yang dikatakan. Wajar saja, dalam keadaan panik siapa pun tidak akan bisa berkonsentrasi.

“Baik, Kiki selagi menunggu tim patroli datang ke lokasi, Anda cari tempat aman yang ramai. Saya akan menghubungi tim patroli terdekat, jadi jangan putuskan sambungan telepon supaya kami bisa melacaknya dan mohon tunggu sebentar.”

“Iya.”

Selagi fokus menelepon, Kiki tak menyadari bahwa orang misterius itu semakin dekat. Saat berbalik menatap si orang misterius itu, mata Kiki terbelalak melihat orang itu sudah menerjangnya.

Bugh!

“Nelpon siapa, lo?!” sergap si orang misterius itu membenturkan tubuh Kiki ke tembok.

Tubuh Kiki bergetar hebat. Orang itu melakukan kuncian di leher sehingga membuat Kiki tercekat dan kesulitan bernapas. Sorot mata pelaku itu tajam mengintimidasi. Selain mata, Kiki tak dapat melihat wajahnya secara keseluruhan karena tertutupi oleh buff berwarna gelap.

“Jawab!” bentak si pelaku melempar pisau ke arah kepala Kiki. Tapi Kiki menghindar sehingga pisau tersebut hanya terpental ke tembok.

Dalam isak tangisnya, Kiki berusaha mengeluarkan sepatah kata. “Po-polisi …”

“Anjing, lo nggak tau siapa gue?”

Kiki masih bungkam dalam kepanikan.

Si pelaku mendekatkan wajahnya kemudian membuka sedikit buff sehingga menampilkan wajahnya secara keseluruhan

Mata Kiki terbelalak, ia semakin histeris. “Lo—lo ngapain lakuin ini ke gue?!”

“Seharusnya lo tau kesalahan lo apaan.”

Pemuda itu menggeleng cepat dengan raut wajah yang panik. “Nggak! Gue nggak ngelakuin kesalahan apa pun. Gue nggak mungkin nyakitin—”

Bugh!

Pukulan keras mendarat di perut Kiki sehingga membuatnya ambruk seketika. Ia belum pernah merasakan pukulan sekeras itu. Pandangannya lambat laun meredup hingga akhirnya gelap gulita.

Orang itu mengatur napasnya. Ia menatap dingin ke arah Kiki yang  tergeletak tak berdaya. Lalu pandangannya menengok ke sana ke mari, memastikan tidak ada saksi mata di lokasi itu. Kemudian ia memungut pisau sambil membopong tubuh Kiki ke dalam mobil Range Rover yang terparkir cukup jauh dari lokasi.

Setelah berhasil memasukkan tubuh Kiki, orang itu cepat-cepat mengendarai mobilnya menjauh dari lokasi sebelum polisi datang. Namun ada satu hal yang luput dari perkiraan orang itu, handphone milik Kiki yang terjatuh saat orang itu menerjang Kiki. Handphone itu masih dalam keadaan memanggil 110.

“Kiki …” ujar si operator dari ponsel tersebut. “Kiki, apa Anda bisa mendengar saya dengan jelas?”

***

Raka Destiawan duduk di meja laptop kosannya. Selain laptop dan notebook kecil, terdapat headphone, mikrofon, perekam audio dan beberapa perlengkapan lainnya untuk kebutuhan recording podcast. Setelah menyalakan dan mengatur beberapa alat, Raka memulai perekaman.

“Halo teman-teman pendengar,” sapa Raka membuka podcast­-nya. “Ini adalah episode pertama dari Siniar Merah. Tujuan dari Siniar Merah adalah untuk melakukan penelitian tugas akhir saya dalam memenuhi syarat gelar S1. Siniar Merah akan membahas sifat-sifat negatif yang bisa memengaruhi generasi muda dalam menghadapi fase quarter life crisis.

“Adapun output yang diharapkan dari Siniar Merah adalah terbentuknya engangement antar saya dengan para pendengar sehingga terjalin bentuk komunikasi. Kalian bisa menghubungi email yang tertera untuk sekedar sharing mengenai apa pun seputar krisis identitas yang dibahas melalui Siniar Merah. So, tak perlu berlama-lama lagi, mari kita mulai episode pertama ini dengan episode fake friends.”

Raka menyelesaikan rekaman itu selama dua puluh menit. Setelah merapikan alat-alat podcast, ia beralih pada notebook kecil yang berada di samping laptopnya. Ia membuka halaman catatan yang berjudul “Rencana Siniar Merah (Podcast)”. Catatan itu rencananya akan berisikan daftar nama-nama yang disangkutpautkan dengan episode-episode Siniar Merah. Tak hanya itu, di dalam setiap daftar nama juga terdapat informasi detail seperti alamat, tempat nongkrong dan tindakan yang akan dilakukan.

Saat ini, Raka baru menulis satu nama sebagai daftar nomor satu, di sana tertulis nama Kiki Yudistira (Fake Friend). Tindakan yang tertera di sana adalah membuat kontak dengan Kiki, janjian di tempat nongkrongnya. Bawa pisau lalu lukai beberapa bagian tubuh. Langkah selanjutnya, buat Kiki pingsan dan bawa ke gudang, beri dosis obat bius secara rutin selagi menunggu korban lainnya.

Raka tersenyum. “Ini semua buat lo, Riel.” []

Daftar Isi Novel Siniar Merah

Bab 1

Jika kamu suka novel Siniar Merah, pastikan kamu sudah install aplikasi Cabaca karena novel ini terbit eksklusif di Cabaca. Cabaca adalah situs baca novel online yang menawarkan ratusan judul novel berkualitas. Gak hanya novel romance, ada juga novel crime dan novel detektif loh! Buruan pakai aplikasinya supaya bisa baca novel murah, mulai dari Rp5 ribu saja. Dapatkan dengan download di Play Store.

Aplikasi baca novel berkualitas di Indonesia
Aplikasi baca novel online berkualitas di Indonesia


Mau baca novel genre lainnya? Cari di sini:

  1. Novel Romance
  2. Novel Dewasa
  3. Novel Komedi
  4. Novel Horor
  5. Novel Teenlit
  6. Novel Islami
  7. Novel Thriller
  8. Novel Fantasy