Novel Switch-Case by Lista

Novel Switch-Case by Lista
Photo by ThisisEngineering / Unsplash

Novel Switch-Case by Lista – Fuchsia, mahasiswi Ilmu Komputer yang mem-branding diri sebagai individu prestisius; bisa cari uang, organisasi jalan, IPK aman.

Demi menghindari stereotip, "Kamu kan anak IT! Masa gitu aja gak bisa!?" membuat Fuschia sering memaksakan diri menyelesaikan masalah komputer orang sekitar.

Keberuntungan pada akhirnya berpihak pada Fushcia, dirinya berhasil bergabung dengan klub Noona Corp. Namun hoki satu tahun Fuchsia sepertinya sudah terkuras habis, ternyata Neon – laki-laki yang pernah menolaknya satu tahun lalu itu – ikut group project yang sama dengannya!

Novel Switch-Case

Entah mendapat kutukan dari dewa mana, Fuchsia sering tidak bisa menolak permintaan tolong orang lain. Bukannya belum pernah mencoba menolak, tetapi malamnya akan membuat dia kepikiran dan tidak enak hati. Mungkin, nenek buyutnya di masa lalu pernah melakukan kesalahan sangat fatal sehingga berpengaruh pada 12 keturunannya.

Padahal, pagi itu, dia baru saja memakai kemeja flanel late dengan jeans high waist blue sky, rambut panjang dikuncir kuda, terlihat rapi untuk anak Informatika yang akan berangkat kuliah. Dia menggendong backpack hitam berisi laptopnya dan alat tempur lain.

"Kamu samperin dulu Tante Nia ke rumahnya, ya, Cia. Benerin laptop anaknya." Ratna—yang baru membereskan piring bekas makanan mereka—menarik perhatian sejenak. "Udah ditungguin dari kemarin. Malu nanti diomongin sama tetangga lain."

Fuchsia seharusnya bertemu dengan dua temannya di sekretariat Himpunan sebentar lagi. Namun, "Iya."

"Benerin, ya, Cia. Sampai bisa dipake lagi. Mereka suka ngomongin kalau gak bisa," kata Ratna lagi sambil melepas ikatan celemek dan menggantungkannya di rak sisi kompor. "Sebentar aja, kok. Masa anak IT gak bisa, sih."

"Iya."

Dia lemah dengan stereotip itu.

Dia cepat-cepat memakai sneakers putihnya dan menaiki motor, menyeberangi jalan menuju sebuah rumah minimalis satu tingkat dengan taman kecil di halaman, hanya lima bangunan dari rumahnya. Motor KLX yang biasanya diparkir di luar sudah tidak terlihat, artinya anak itu sudah pergi ke SMK-nya. Seharusnya, service dadakan ini tidak jadi?

Mimpi.

Nia keluar dan menyambutnya dengan senyuman lebar. "Masuk, Cia. Laptopnya gak dibawa ke sekolah, kok, sama Alfin."

Fuchsia mengangguk kikuk, melepas sepatu dan mengikuti Nia ke ruang tamu yang lumayan luas. Hatinya sedikit membatin. Dengan rumah seluas ini, harusnya mereka bisa bayar tukang service laptop, kan? Bukannya menyuruh si ‘Anak Komputer Gadungan’ yang terpaksa terjun ke dunia IT ini untuk mengeceknya!?

Kerutan wajah tanda kesalnya seketika disembunyikan saat Nia menyimpan laptop di meja sambil berbicara, "Kemarin, laptopnya mati sendiri terus gak bisa nyala lagi. Kenapa tuh, Cia?"

"Izin buka, ya, Tante." Fuchsia membukanya setelah disetujui. Mencoba menekan tombol power. "Ini mungkin masalah baterai atau motherboard. Coba Cia cek dulu."

"Sekalian mau sarapan dulu gak?"

Fuchsia hanya menggeleng sembari tersenyum canggung, memilih fokus pada laptop silver di depannya. Jujur, sebenarnya, dia hanya pernah mencoba saat project UAS matakuliah Arsitektur Komputer semester kemarin.

Dia mencoba menyalakan laptop, tetapi tidak ada respon. Dia memutuskan untuk membuka casing belakang dan memastikan semua kabel dan komponen terhubung dengan baik. Setelah itu, dia memncoba menyalakannya kembali, tetapi layar tetap hitam.

Fuchsia mencoba masuk ke BIOS dan berhasil. Setelah memeriksa pengaturan dan melakukan beberapa tes diagnostik sederhana, dia menemukan bahwa hard drive memiliki beberapa sektor yang rusak. Menggunakan software recovery yang ada di USB-nya, dia memperbaiki sektor-sektor tersebut.

Meskipun memakan waktu beberapa jam, akhirnya laptop bisa menyala kembali dan masuk ke sistem operasi.

"Maaf, ya, Cia. Ngeganggu waktu kamu," katanya dengan sedikit tidak enak. "Mau berangkat kuliah sekarang?"

"Iya, Tante." Fuchsia lekas berdiri. Menggendong tas yang sebelumnya disimpan di kursi.

"Oh, iya, Cia. Kamu bisa sekalian benerin TV sama printer Tante gak? Gak apa-apa, nanti aja pas pulang ngampus."

Fuchsia menggaruk lehernya yang mendadak gatal. Ini bukan pertama kali dia mendapati request untuk memperbaiki barang elektronik lain. Masalahnya, dia juga mendadak belajar dulu. Terkadang gagal, terkadang berhasil. Jika ragu, dia akan bilang, "Maaf, Tante. Saya gak punya alatnya."

"Oh harus pake alat lain, ya?" Fuchsia mengangguk kecil. "Ya udah, ga papa. Gak jadi. Makasih, ya, Cia."

Untunglah. Fuchsia cepat-cepat berpamitan, bergegas menaiki motor dan membawanya ke arah kampus. Butuh waktu setengah jam lebih untuk mencapai Universitas Sebelas Juni dari rumahnya di Jatinangor. Halangan seperti disuruh memperbaiki komputer, alat apapun di desa, dan lainnya, sudah seperti jadwal terstruktur setiap hari.

Begitu sampai di ruangan berdiameter 3×3 m itu, Jean dan Amber sudah duduk berseberangan, bersandar pada tembok putih yang sudah cukup luntur. Jean memasang wajah lesu tidak berselera hidup sambil menatap layar laptop. Sementara Amber menyilangkan tangan.

"Ada apa?" tanyanya langsung sambil menaruh tas di lantai. Tidak ada kursi satu pun di dalam ruangan. Hanya ada dua karpet membentang lebar dan satu meja kecil bersama lemari kayu di pojok ruangan. Fuchsia harus melepas sepatunya sebelum mendekati mereka. "Kenapa?"

Jean melirik Amber sesaat. "Bumi kan pindah kampus."

"Website kita buat deadline event minggu depan, dipake lomba individu sama Kak Bumi!" Amber menggertak sinis. Sudah terlihat paling marah di antara mereka. "Lombanya udah kasih announcement barusan. Gak tahu, Kak Jean nemu dari mana."

"Hah?" Fuchsia tertegun.

"Aku gak apa-apa kalau dia keluar dari tim kita dan milih pindah kampus, tapi kalau hasil usaha kita dipake gini, ya, gila aja tuh orang!" teriak Amber lagi, tangan kirinya menunjuk ke arah pintu keluar. Seolah Bumi ada di sana. "God forbid!"

"Horseshit." Fuchsia bergumam, badannya ikut melemas. Mereka sama-sama diam cukup lama sampai Fuchsia kembali bersuara, "Satu minggu buat ulang gak akan cukup, ya?"

Jean menggeleng. "Mending cari event yang baru, Cia. Gak akan sanggup kalau waktunya satu minggu."

"Tapi, pengumuman event yang ini nge-pas sama seleksi pengurus Noona Club, Kak Jeaaaan!" Amber kesal, sedikit merengek. "Kalau menang 'kan gampang. Kita bisa dapat privilege di Noona Club."

"Kita cari yang pengumumannya sama, tapi deadline-nya agak panjang aja, sih, kalau ada," kata Fuchsia ragu. "Eh, tapi kali aja pendaftaran pengurus Noona Club diundur gak, sih? Pengumuman group project-nya aja dimundurin."

"Udah. Coba aja. Kita cari dulu. Pengumuman group project aja belum, kaya mau diterima aja. Fyi, takut kalian lupa, harus lulus group project baru bisa ikut daftar kepengurusan!" Jean menengahi, kembali bergelut men-scroll laman web media sosial untuk mencari info lain.

Amber menghela napas sebentar, merasa sudah lebih lega. "Maaf aja, aku Fomo. Takut banget gak lolos tahu!"

"Mana udah koar di grup HIMA lagi," kata Fuchsia tersenyum kikuk. "Mau nge-vlog pas tour kantor Noona Corp."

"Diem!" Amber melotot. "Optimis nomor satu, nangis belakangan."

Fuchsia hanya mengangguk-angguk kecil. "Eh, Kak Bumi ditegur nggak? Dilaporin, sih, harusnya. Web kita masih bisa dipake kalo gitu."

"Udah, gak ada tindak lanjut dari sananya. Saya juga ngerasa aneh, Cia." Jean menjelaskan lebih lanjut, “Masalahnya, web kita itu sekarang gak cuma perlu modifikasi. Kita harus revisi kode, ganti beberapa konten, dan itu semua butuh waktu. Plus, kita harus testing ulang, pastiin gak ada bug. Satu minggu buat semua itu? Gak mungkin!”

“Iya, kita juga harus siapin presentasi dan laporan,” tambah Amber, wajahnya kembali muram. “Dengan waktu sesingkat ini, kita bakal begadang banget, sih, dan hasilnya gak yakin maksimal.”

Fuchsia mengangguk, paham dengan keraguan mereka. “Bener, sih. Mending fokus ke cari event lain yang lebih realistis.”

Sekretariat kembali hening sejenak.

“Udah pada buka DC (aplikasi Discord) belum?” Jean bertanya tiba-tiba, memecah keheningan.

Fuchsia mendongak, menggeleng, "Hpku mati."

Ponselnya kadang dianggurkan sehingga lupa nge-charger karena lebih mementingkan laptop.

"Jangan kaget." Jean menyimpan laptop di tengah-tengah mereka, melirik mereka bergantian. "Spreadsheets peserta lolos udah ada!"

"Kita semua lolos gak!?" Amber berangsur mendekati laptop milik Jean, begitu juga dengan Fuchsia.

Namun, "Laptopnya mati."

“Nggak ada pengumuman di webnya, Kak Je?” Fuchsia mencoba membuka laptop sendiri. Begitu mendekati pojok ruangan, satu pesan baru dari Discord muncul. Pesan dari group admin: “Hi, sorry for the inconvenience. The spreadsheet was temporarily inaccessible and retracted. We're working to resolve this issue ASAP. Please be patient and stay tuned for updates.”

Daftar Isi Novel Switch-Case

Bab 1

Bab 2

Bab 3

Bab 4

Baca Juga: Novel Hate to Love by Vivinanavina

Novel tentang kehidupan anak IT menarik juga ya untuk dibaca? Ada banyak cerita romance serupa yang menarik, mulai dari novel tentang office life hingga novel tentang CEO. Jangan lupa cek Cabaca, situs baca novel online berkualitas no. 1 di Indonesia. Nikmati kesempatan baca novel online mulai Rp5 ribu aja hingga baca gratis loh! Tapi hanya bisa di aplikasi Cabaca ya.

Aplikasi baca novel berkualitas di Indonesia
Platform baca novel online Indonesia 


Cari novel genre lainnya? Cek di sini:

  1. Novel Romance
  2. Novel Dewasa
  3. Novel Komedi
  4. Novel Horor
  5. Novel Teenlit
  6. Novel Islami
  7. Novel Thriller
  8. Novel Fantasy