Novel Secret Nights with My Brother in Law by Amy Sastra Kencana

Novel Secret Nights with My Brother in Law by Amy Sastra Kencana
Photo by Nahima Aparicio / Unsplash

Novel Secret Nights with My Brother in Law by Amy Sastra Kencana – Aretha tidak pernah menyangkan one night stand dengan Ernest akan membawanya pada thousand night stand yang tidak berujung ke mana-mana. Muak menjalani FWB dan HTS terus-terusan, Aretha memutuskan untuk move on dan mencari hubungan serius.

High school sweetheart yang dia temui saat ajang reuni SMA, Sandro, menghadirkan angin segar karena pria itu berniat mengajak Aretha ke jenjang yang lebih serius.

Namun, takdir seakan mempermainkannya karena ternyata saat berkenalan dengan keluarga Sandro, ternyata Ernest muncul. Bisakah rumah tangga Aretha dan Sadro baik-baik saja jika mantan FWB Aretha yang jadi kakak iparnya?

Novel Secret Nights with My Brother in Law

Baru saja Aretha memberi isyarat untuk istirahat, asistennya sudah menyodorkan ponsel hitam tanpa casing yang sudah sedikit lecet di sana-sini. Arethe melihat wajah asistennya lalu turun ke ponsel yang terulur.

“Sudah telepon dari tadi, Mbak,” ujar asistennya agak sedikit segan.

Tiga alasan yang membuat asisten-yang-baru-tiga-bulan-bekerja ini segan, dan mungkin takut. Satu, dia bekerja untuk Aretha Franklin Hadiwijaya, salah satu sutradara perempuan yang terkenal dan disegani di dunia perfilman Indonesia. Pekerjaannya sangat rapi dan detail. Karya-karyanya selalu menghasilknya minimal dua juta penonton. Dia tak mengenal kesalahan. Walau jika kesalahan terjadi, Aretha tetap memaafkan dan memberi solusi ke depannya, dilengkapi wajah yang dingin. Menjadi asisten Aretha (bukan asisten sutradara) adalah kesempatan yang tidak bisa didapatkannya jika asisten Aretha sebelumnya tidak mengundurkan diri karena hamil. Dua, Aretha terbilang gadget freak dan generasi milenial canggih. Rumahnya dilengkapi fasilitas smart house, barang-barangnya selalu keluaran paling telat dua tahun terakhir. Tapi lihatlah ponsel termahal di kalangan Apple ini. Lecet di beberapa tempat karena Aretha menolak menggunakan casing tapi beberapa kali jatuh dan terbentur. Sekuat-kuatnya bodi yang mengaku dari titanium itu, rupanya jatuh berkali-kali membuatnya terluka juga. Alasan ketiga, yang menelepon dengan tidak sabar bukanlah orang biasa. Ernest Pratama Purwawijaya, atau biasa dikenal dengan Ernest PP. Semua orang di dunia televisi pasti mengenal dia. Beberapa media menyebutnya sebagai Wishnutama II. Karena pekerjaannya yang sempurna dan ide-idenya yang unik. Dia disebut generasi dua dari tokoh televisi tersebut karena usianya yang baru 30-an. Asisten ini, yang sekarang kita sebut saja namanya Ola, pernah bekerja di televisi swasta saat lulus walau bukan di perusahaan milik Ernest. Namun dia berkali-kali mendengar impian para seniornya untuk bekerja bersama Wishnutama (saat beliau masih di Trans TV atau NET TV) atau bersama Ernest PP. Sekarang Ernest menelepon Aretha. Ini adalah kelima kalinya. Ola tak berani mengganggu Aretha saat sedang mengarahkan. Dia pun tadi memberanikan diri mengangkat dan mengatakan bahwa Aretha masih bekerja. Ernest hanya mendengus tapi tetap menelepon berkali-kali.

Saat pertama Ola diterima sebagai asisten Aretha, dia sudah mendengar bahwa Aretha dan Ernest punya ‘sesuatu’.

Aretha mengambil ponsel dari tangan Ola, mengangguk tipis padanya, lalu meninggalkan lokasi syuting. Pasti menuju tenda khusus sutradara di mana tak ada yang bisa masuk selain dirinya. Ola pun harus mendapat izin untuk bisa masuk ke sana.

“Halo.” Aretha mengenyakkan tubuh di kursi, menaruh segala atribut yang masih dia bawa.

“Ke sini dong,” ujar Ernest tanpa basa-basi.

Aretha melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jam hadiah dari Jimmy saat Aretha menyelesaikan film pertamanya. Walau mereka jarang berinteraksi, tapi Aretha selalu mengenakan pemberian kakak sulungnya itu.

“Masih jam kerja kali, Nest,” Aretha melirik ke kanan, lalu berdiri untuk mengambil botol minum.

“I know. Tapi aku nggak tahan,” Ernest meminta sekaligus memerintah.

Aretha berhenti membuka botol minum.

“Kamu bisa coli sendiri dulu di ruangan kerja kamu yang luas itu,” Aretha berkomentar.

Ernest tertawa terbahak.

“Udah aku lakukan dari tadi sebelum telepon kamu. Makanya aku sekarang mau kamu. Aku udah nggak sabar mau masuk, mau lihat toket kamu, lalu aku jilat-jilat dan…”

Aretha mengusap keningnya. Tiba-tiba saja dia merasa gerah padahal tendanya ber-AC.

“Aku beres jam lima paling telat,” Aretha menyela. Sebelum Ernest bisa melanjutkan phone sex ini dan membuat jadwal istirahatnya selesai lebih lama.

“Bagus. Aku masih bisa tahan. Jam lima tepat kamu beres. Di tempat biasa. Jarak dari tempat kamu sekitar sejam. Kalau terlambat, aku nggak jamin bakal baik-baik saja,” Ernest setuju.

“Iya,” Aretha berkomentar sedikit. Dia pun kembali duduk, untuk minum dan menghentikan imajinasinya yang sudah mulai terbang.

“Can’t wait…,” Ernest berbisik, “to fuck you.”

Aretha memejamkan mata, tidak berkomentar. Padahal dia juga mulai merasa gerah.

“Pake bra yang mana hari ini?”

Aretha menarik kemejanya, melirik ke dalam. “Hitam.”

“Misterius. Walau aku lebih suka waktu kamu pake bra merah atau biru. But it’s okay. Aku lebih suka isinya.” Ernest lalu terkekeh. “Sampai ketemu. Aku mau kerja lagi. Bener-bener kerja.”

“Hmm, aku percaya.”

Begitu Ernest puas dengan rencana pertemuan mereka, Aretha melempar ponsel, lalu menghabiskan isi botol air mineral itu. Lagi-lagi dia akan lembur, tapi bukan untuk menyutradarai.

***

Resepsionis hotel bintang lima ini langsung mengenali wajah Aretha dan menyerahkan kartu kunci jatahnya. Aretha mengangguk saja lalu bergegas menuju kamar yang biasa. Ernest punya ‘kebiasaan’ menyewa kamar hotel selama seminggu walau tidak pasti akan dia tempati atau tidak. Hotel favoritnya hanya dua. Salah satu hotel bintang lima di wilayah Bundaran HI dan apartemen di daerah Kuningan.

Pip. Bunyi indikator saat Aretha menempelkan kartu ke tempatnya. Didorongnya pintu untuk masuk. Maju beberapa langkah, dia sudah bisa melihat Ernest sedang berbaring menonton televisi mengenakan bath robe. Aretha berani bertaruh di balik bath robe itu Ernest tak mengenakan apa-apa lagi.

“Nyampe juga,” Ernest berkomentar tanpa melirik Aretha, malah mengambil ponselnya. “Jam enam kurang lima. Boleh juga.”

“Kapan coba gue telat,” Aretha meletakkan tas di kursi lalu melepaskan kemejanya. Ernest melirik.

“Aku mau mandi dulu,” Aretha mengacungkan jari.

Ernest terkekeh. “Okay. Aku juga masih nonton acara ini.”

Acara yang Ernest maksud adalah acara kuis di salah satu televisi swasta.

“Pertanyaan bodoh tapi yang jawab lebih bodoh lagi,” komentar Aretha sembari melenggang ke kamar mandi.

“Can’t agree more,” Ernest tertawa. “My TV can make something better.”

Dia melirik ke pintu kamar mandi. Setelah memastikan Aretha benar-benar telah masuk, Ernest bergerak ke balik televisi, memastikan barang yang dia atur sejak tadi tetap berada di tempatnya dan tak kentara dilihat orang lain.

“Nest!”

“Ya!”

Jarang-jarang Aretha memanggilnya dari kamar mandi. Ernest pun segera masuk karena Aretha memang tak menguncinya. Perempuan itu sudah selesai mandi, juga sudah mengenakan bath robe. Sekarang Aretha berdiri di hadapan cermin.

“Help me,” Aretha mengulurkan botol lotion, matanya berkedip pelan.

Ernest menyeringai. Aksi mereka sudah akan dimulai rupanya. Diterimanya botol lotion itu, ditaruh secuil ke telapak tangan. Aretha membuka bath robe hingga pundak mulusnya terlihat.

Pelan, Ernest mengoleskan lotion itu ke pundak Aretha. Aretha memejamkan mata dan menggigit bibirnya. Ernest mengoles ke dada dan Aretha menurunkan bath robe-nya, hingga benda itu teronggok di lantai. Ketika Ernest mengelus kedua payudara Aretha, bersamaan dengan dia mengecup pundak Aretha.

“Mmh,” Aretha mulai mendesah.

Bukan hanya mengelus, Ernest juga meremas payudara itu. Langsung meremas keras hingga Aretha tersentak, tapi tak protes. Dia suka.

“So hot,” Ernest mendesah. Napasnya terasa menggelitik di tubuh Aretha.

Kedua tangan Ernest bergerak turun. Satunya ke belakang untuk meremas bokong Aretha, satunya lagi mengelus-elus vagina.

“Kamu bilang… udah nggak sabar,” Aretha mengelus wajah Ernest, mereka bertatapan via cermin.

“Sure,” Ernest mengisap leher Aretha hingga desahannya semakin kencang.

Ernest melepas bath robe-nya sehingga mereka berdua benar-benar telanjang. Selagi mencium leher dan punggung Aretha, Ernest menggesekkan kejantanannya ke bokong Aretha.

“Yesss,” Aretha mendesis. Dia tahu Ernest tak akan menunggu lama. Apalagi Aretha juga sudah mulai basah karena jari Ernest yang tadi mendahului.

Aretha akan bersiap kapanpun Ernest masuk. Momennya selalu saat dia tak menyangka. Sore ini, ketika Aretha menautkan jarinya dengan jari Ernest di atas payudaranya, tiba-tiba saja kejantanan Ernest melesak masuk.

“OH!” Aretha berjengit. Namun teriakan itu segera berubah menjadi desahan sensual ketika Ernest bergerak semakin buas dan cepat.

Aretha hanya bisa berpegangan pada wastafel, selagi sebelah kakinya naik ke atas agar Ernest bisa memasuki tubuhnya semakin leluasa. Tangan Ernest berada di lehernya, menegakkan leher dan kepala Aretha sehingga dia bisa melihat di cermin saat Ernest menyetubuhinya dari belakang.

“Yes yes yes. Oh!” Itulah suara-suara dari mulut Aretha. “Yes, baby, yesss!”

Ernest tidak ingin aksinya selesai di sini. Dia ingin melakukannya di tempat tidur. Pria itu pun meminta Aretha berbalik, mencium bibirnya tanpa rasa sabar, lalu menggendongnya. Tubuhnya yang muda dan perkasa menggendong Aretha keluar, lalu menjatuhkannya di kasur, memunggungi tempat tidur.

Ernest menindih Aretha. Tubuhnya yang fit terlihat sangat perkasa di mata Aretha. Perempuan ini pun menyeringai. Selagi berbaring, Aretha meraih kejantanan Ernest dan memasukannya ke mulut.

“Oh,” Ernest mendesah penuh gairah. Suara gagah keluar dari mulutnya.

Aretha melanjutkan aksi, membasahi penis itu dengan ludahnya, kemudian mengulum lebih lama selagi memijat dan mengelus seluruh bagian kejantanan Ernest.

“Fuck,” Ernest mendesah lagi.

Dia mundur sedikit. Aretha yang masih memegang kejantanan itu mengepitnya dengan payudara. Ya, bagian paling favorit dari tubuh Aretha adalah payudaranya yang besar, bulat, dan sekarang membusung tinggi. Pernah Ernest tertidur dengan wajahnya tenggelam di kedua payudara Aretha.

Perlakuan ini membuat Ernest memejamkan mata dan mendesah lagi. Aretha semakin senang mempermainkan kejantanan itu dengan kedua payudaranya.

“Udah nggak bisa nunggu lagi.” Ernest membungkuk. Kedua tangannya di sisi kepala Aretha.

“Aku siap kapanpun,” Aretha mengelus wajah Ernest. Mereka berciuman.

Ernest memegang kejantanannya lalu memasukannya ke tubuh Aretha, diiringi desahan gagah. Aretha mengerang.

“Ugh,” Aretha menikmati saat kejantanan besar itu kembali masuk.

Ernest bergerak, pelan, pelan, dan lama-kelamaan semakin cepat. Aretha memegang tangan Ernest yang kekar, kakinya terbuka lebar. Dada mereka bersentuhan. Ernest bisa merasakan puting Aretha yang menusuk dadanya. Peluh mulai bermunculan di kulit keduanya meskipun ruangan ini berpendingin.

“Engh, yesss!” Aretha masih mengerang.

Ernest mengangkat tubuh, menarik kedua kaki Aretha agar bersandar di pundaknya. Dia kembali bergerak cepat lagi. Desahan Aretha semakin terdengar, apalagi sekarang dia mengambil tugas meremas payudaranya atau mengocok klitoris dengan jarinya.

Tiba-tiba saja Ernest menjatuhkan kaki Aretha, memintanya menungging. Bersamaan dengan adanya bunyi seperti sesuatu yang jatuh. Aretha mendongak. Tapi dia tak punya waktu untuk mengkhawatirkan bunyi apa itu sebenarnya. Hanya Ernest yang berkomentar, “Shit.”

Namun keduanya segera melupakan hal itu. Ernest kembali dengan gagah memasuki Aretha hingga sutradara ini hanya bisa mengerang dan mendesah. Tubuhnya yang awalnya menungging, jadi hanya berbaring telungkup, memegang seprai dengan erat.

Plak. Ernest menampar bokongnya.

“Oh yes!” Arethe berteriak senang. “Yes!”

Plak plak! Ernest menampar lagi, kali ini di kedua bokong. Aretha pun mengangkat pinggulnya, membuat Ernest menarik diri agar menenggelamkan wajah di bokong Aretha.

“Fuck!” Aretha berteriak. Masih sembari menelungkup dengan bokong teracung, Aretha memainkan klitorisnya lagi.

“Now here, baby,” Ernest meminta.

Aretha berbalik. Pria itu sekarang duduk mengangkang. Kejantanannya teracung. Menurut, Aretha duduk di pangkuan Ernest selagi memasukan kejantanan itu ke tubuhnya.

“Ohhh,” Aretha mengerang. Tangannya memeluk Ernest, kepalanya mendongak ke atas.

Ernest mengelus rambut panjang Aretha selagi menjilat-jilat dua payudara Aretha. Mereka kembali bergerak. Mulanya Aretha, lama-kelamaan Ernest yang menyodok penuh semangat dari bawah.

Erangan keduanya bercampur dengan bunyi kejantanan yang mendesak masuk dan cairan yang mulai mengalir.

“Ah ah ah!” Aretha memeluk Ernest semakin erat saat orgasmenya tiba. Ernest sengaja diam dulu agar Aretha bisa menikmati orgasme yang disebabkan oleh dirinya.

Ketika Aretha diam, Ernest bergerak semakin liar. Tubuh Aretha bergoyang-goyang, pikirannya mulai tak jernih, lalu Ernest mendorong Aretha berbaring, demi menyemprotkan cairan putih itu di mulut Aretha.

***

Aretha belum tidur meski jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Pasangan seksnya slash pasangan Hubungan Tanpa Status slash pasangan Friends With Benefit-nya, yaitu Ernest, sudah terlelap. Tidur nyenyak berselimutkan kenikmatan duniawi hasil percintaannya dengan Aretha.

Sudah empat tahun dia dan Ernest berhubungan seperti ini. Menjadikan satu sama lain pemuas nafsu tanpa harus berkomitmen. Entah sampai kapan akan begini. Aretha menikmati sekaligus tak menikmati juga.

Karena tak juga bisa tidur—padahal biasanya setelah seks yang memuaskan, Aretha bisa tidur dengan mudah—maka diputuskannya untuk merokok di balkon. Namun apa daya saat Aretha merogoh tasnya, rokoknya ternyata kosong.

“Cih,” Aretha melemparkan bungkus itu kembali ke tasnya. Ia merokok hanya jika benar-benar ingin, namun itu rupanya membuat dia tak bisa mengontrol persediaan rokoknya.

Saat mendongak dari tas, Aretha teringat akan bunyi benda jatuh yang didengarnya saat bercinta tadi. Kira-kira apa itu? Aretha pun meraba-raba interior kamar ini, mencari benda yang mungkin bisa jatuh. Tapi, dua kali Aretha mencari, tak ada yang aneh. Semua benda baik-baik saja dan tak ada yang kurang.

Baiklah, mungkin itu hanya kecurigaannya saja.

Bingung mau melakukan apa, Aretha memanjat naik ke tempat tidur. Gerakannya membuat Ernest mengintip. “Baru tidur?” tanyanya, kembali menutup mata.

“He-eh,” komentar Aretha pelan.

“C’mere,” Ernest yang masih memejamkan mata menarik Aretha mendekat.

Aretha pun berbaring di pelukan Ernest.

Sampai kapan?

Tiba-tiba pertanyaan itu muncul di benaknya. Ernest pernah bilang dia tidak akan menikah dalam waktu dekat. Meskipun dia dan Aretha sudah sangat sering berhubungan seks. Karena itu Aretha pun tidak berharap apa-apa.

Di sisi lain, Aretha merasa ada yang janggal. Ada sesuatu yang seharusnya membuat Aretha menjauh dari Ernest. Namun entah apa.

Mungkin sebaiknya hubungan tak jelas ini memang disudahi saja.

Daftar Isi Novel Secret Nights with My Brother in Law

Baca Juga: Novel Crazy in Love by Fielsya

Suka juga dengan cerita perselingkuhan mirip Kakak Ipar adalah Maut ini? Yuk cari novel berkualitas di aplikasi Cabaca, platform baca novel online yang menghadirkan 500 judul lebih novel terkurasi. Ternyata ada ya novel online yang murah dan legal? Mulai Rp5 ribu aja kamu bisa dapat novel bagus. Download aplikasi Cabaca di Play Store untuk dapetin lebih banyak promo!

Aplikasi baca novel berkualitas di Indonesia
Platform baca novel online Indonesia 


Suka novel genre lainnya? Cek di sini:

  1. Novel Romance
  2. Novel Dewasa
  3. Novel Komedi
  4. Novel Horor
  5. Novel Teenlit
  6. Novel Islami
  7. Novel Thriller
  8. Novel Fantasy