Novel Rumah dengan Sumur Kematian by Aulia Hazuki
Novel Rumah dengan Sumur Kematian by Aulia Hazuki – “Di dalam rumah kecil di hutan itu, ditemukan belasan makam anak-anak yang hilang. Polisi menelusuri seluruh isi rumah, hingga menemukan bagian akhir dari rumah itu, sumur tua yang terbuat dari batu."
"Yang paling mengerikan, ada jejak-jejak darah yang amat banyak di sekitar sumur itu, polisi memastikan bahwa darah itu bukan darah milik pelaku. Tapi ….”
***
Rumah itu tampak biasa-biasa saja dari luar. Berdinding batu, dengan pintu kayu yang ditutupi oleh ranting-ranting pohon di kanan dan kirinya. Singkatnya, rumah terbengkalai.
Tapi ternyata rumah itu menyimpan rahasia keji pembantaian jiwa-jiwa kecil yang terjadi puluhan tahun lalu. Rekam jejak jeritan sebelum kematian menjemput terdengar di seluruh penjuru. Jeritan para korban sebelum diambil secara paksa oleh sosok misterius yang terkubur di kedalaman rumah.
Alesha Maharani tidak menyadari bahwa dia ada sangkut paut dengan sejarah berdarah rumah itu. Sayangnya ketika dia akhirnya sadar semuanya sudah terlambat.
Teaser Novel Rumah dengan Sumur Kematian
Alesha melihat sosok itu berjalan perlahan dalam gelap dan pekatnya hutan. Sinar bulan sudah lama lenyap di balik gelapnya awan. Malam seakan menyembunyikan seluruh sinarnya.
Sulur-sulur pohon tua yang menjuntai seakan tertiup angin saat sosok itu lewat. Dari cara berjalannya, Alesha yakin sosok itu perempuan, nenek-nenek—dari punggungnya yang bungkuk. Sosok itu terlihat memiliki rambut panjang, kusut, awut-awutan dan lebat tak terurus menutupi sisi wajah hingga hanya ujung hidungnya saja yang terlihat oleh Alesha. Dia tidak tahu siapa sosok itu, atau apa yang dilakukannya di hutan malam-malam—tanpa membawa penerangan sedikit pun. Tapi sepertinya sosok tua itu tahu arah yang harus ditujunya. Dia sepertinya bisa melihat dalam gelap, atau sudah hapal akan tempat tujuannya.
Dalam kegelapan, samar-samar Alesha bisa melihat pakaian yang dikenakan oleh sosok itu, robek di sana-sini, pakaian yang bentuknya seperti jubah itu melambai-lambai, memperlihatkan tepian bawah baju yang robek hingga menutupi kaki. Selintas Alesha melihat tangan kanan sosok itu seperti menarik sesuatu, sesuatu yang menjerit-jerit lemah. Beberapa saat kemudian bulan purnama bersinar dari balik gelapnya awan. Hingga akhirnya Alesha bisa melihat sosok itu dengan demikian jelas dan melihat apa yang dibawa sosok itu di tangannya tadi.
Alesha tak dapat menahan untuk memekik.
Nenek tua itu sedang menyeret seorang anak lelaki kecil!
Alesha segera menutup mulutnya, langsung sadar bahwa nenek itu bisa saja mendengar suaranya. Apalagi suaranya sangat keras di tengah keheningan hutan yang pekat. Tapi anehnya, nenek itu tidak mendengar suaranya ... Dia bahkan kelihatan tidak menyadari ada orang lain di dekatnya saat itu.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia nggak dengar suaraku? Tapi syukurlah kalo dia nggak bisa dengar! Dia pasti bakal mencelakaiku atau semacamnya, seperti yang dia lakukan ke anak itu ... Astaga, apa yang dia lakukan ke anak itu?Aku merasakan hawa pembunuh yang sangat mengerikan ... Itu yang ada di dalam pikirannya setelah itu.
Anak itu terseret-seret, dengan perut di tanah dan punggung menghadap ke atas. Tangannya yang kurus pucat dalam cahaya bulan menyakar-nyakar tanah di sekitarnya, berharap dengan begitu dapat menahan seretan sosok itu. Dia terus meronta-ronta tiada henti, juga berteriak-teriak kesakitan dan ketakutan, tapi suaranya tidak jelas.
“Diam, DIAM!!!”
Alesha tersentak. Nenek itu bicara! Dan suaranya, suaranya tidak seperti suara orang yang biasa didengarnya ....
Suara itu terdengar tua, tentu saja. Tua dan sangat rapuh, serta tajam, seperti ranting tipis yang sedang menggores tanah. Ketika mendengar suara itu, Alesha segera merasakan ketakutan luar biasa, seakan ketika nenek itu bicara, suaranya menyedot jiwanya.
Alesha refleks berjalan mundur dengan ngeri.
Aku harus segera pergi dari sini! Demi Tuhan, apa yang sebenarnya aku lakukan di sini? Dan kenapa aku bisa di tempat seperti ini?
Ketika Alesha hendak kabur, tiba-tiba anak lelaki itu menoleh ke arahnya. Alesha bisa melihat mata anak itu yang dipenuhi air mata ketakutan, pandangannya menyiratkan permintaan tolong.
“Tolong, tolong aku!” katanya lemah, tangannya kini menggapai ke arah Alesha.
Alesha menelan ludah. Apa yang harus aku lakukan? Aku nggak berani menolong dia! pikirnya dengan kalut.
Ketika dia sedang berusaha memikirkan apa yang seharusnya dilakukannya, tanpa sadar dia berjalan maju—tidak jadi kabur. Dia lalu mengikuti sosok itu, berjalan semakin jauh menuju kedalaman hutan.
Di matanya hutan itu tampak tua, pepohonnannya tampak sakit dan rapuh. Batang-batangnya seakan mati ... Tapi Alesha tahu kalau semua pohon itu masih hidup. Hanya saja seakan jiwa pohon itu sudah tidak ada.
Beberapa saat kemudian, si nenek sampai di sebuah rumah kecil tua dari batu yang mempunyai pintu terbuat dari kayu berat berwarna hitam. Pintu itu hampir tak terlihat oleh rimbunnya semak dan pohon yang ranting-rantingnya menutupi daun pintu.
Si nenek lalu memegang jubahnya dan mencabut pisau dari saku bajunya yang lusuh dan bertambal-tambal, lalu memotong ranting-ranting pohon itu dengan tangkas sehingga pintu kini terbebas dari rimbunnya ranting pohon. Dia lalu membuka pintu itu, yang berderit pelan.
Alesha dengan cepat mengikutinya, berusaha menjaga jarak, sementara anak kecil itu mulai letih meronta-ronta, dan kini hanya terkulai pasrah, lemah dan terdengar terisak-isak. Pintu itu ternyata awal dari sebuah lorong panjang yang gelap dan suram. Rumah itu gelap, kelihatan sekali sudah lama ditinggalkan.
Nenek itu lalu meraih korek api dari rak di dekatnya. Dia lalu menyalakan sebuah lampu sentir dan membawanya ketika berjalan. Akhirnya sedikit demi sedikit Alesha mulai melihat akhir dari lorong ini, sebuah ruangan berdinding abu-abu kusam. Yang membuatnya terkejut setengah mati, ruangan itu penuh berisi makam!
Kenapa ada makam di dalam rumah? Rumah macam apa ini? Kenapa ada kuburan di dalamnya? pikir Alesha segera. Dia nyaris tak bisa mengendalikan ketakutannya sekarang. Tapi dia tidak bisa kabur, karena kakinya seolah tertancap kuat di lantai tanah yang menjadi alas rumah itu.
Lantai di sekitar makam itu dipenuhi dedaunan gugur yang gugur dari tiga pohon di tepi makam. Sosok itu lalu menaruh lampu sentirnya dan berjalan melalui sela-sela makam yang satu dengan makam yang lainnya sambil terus menyeret si anak kecil.
***
Tiba-tiba anak itu melihat tulisan yang tertera di salah satu nisan, nama Wulan Kartika tertera tidak terlalu jelas karena nisan itu tertutup lumut. Sepertinya tulisan itu buatan sendiri, digores kasar dan asal-asalan. Alesha lalu mendengar anak kecil itu berkata lirih dan lemah, “Adikku … adikku .…”
Si nenek lalu menghentikan gerakannya dan dia menyeringai. Saat itulah, Alesha melihat wajahnya untuk pertama kali, dan dia segera tersentak.
Wajah di depannya itu kurus dan tirus, kulit di sudut mulutnya tertarik ke belakang. Matanya yang kecil seolah tak terlihat karena tertutup rambut yang menjuntai dari keningnya. Warna kulitnya kotor kekuningan, seperti tidak pernah membersihkan diri.
Kenapa rasanya aku pernah lihat nenek ini? pikir Alesha.
Apa aku pernah lihat dia di suatu tempat? Tapi di mana?
Perhatiannya lalu teralihkan ketika si nenek berkata,
“Ya, adikmu. Nasibmu akan sama, Nak. Darahmu akan kuberikan untuknya, dan dia akan senang.”
Di depan nenek itu kini ada lorong lain, dia lalu menuju ke sana, sambil tetap menyeret anak itu dengan erat. Alesha mengikutinya, hingga akhirnya mereka sampai di akhir lorong. Ada ruang lain di depan, yang juga penuh dedaunan yang gugur. Di tengah ruangan itu terdapat sumur batu berpenutup kayu yang sudah amat tua, dengan kerekan tali yang menghitam. Si nenek lalu menggeser penutup sumur itu, membelakangi Alesha.
Setelah itu, dengan kasar ditariknya anak kecil yang menggeletak di lantai dan dicabutnya pisau yang tadi digunakannya untuk memotong ranting di depan pintu. Alesha memekik tertahan saat nenek itu tiba-tiba menggunakan pisaunya untuk menorehkan goresan luka yang cukup dalam di lengan anak itu, kemudian mengangkat pisaunya, menunggingkannya, membiarkan darah di mata pisau mengalir ke ujung pisau, dan menetes ke dalam sumur. Nenek itu lalu berkata, “Darah … darah lagi … keluarlah … anak ini untukmu!”
Beberapa saat kemudian suasana hening mencekam membuat Alesha tak mampu bernapas. Lalu tiba-tiba, tanpa ada peringatan apa pun, terdengar suara gemuruh dari dasar sumur. Suara itu sontak mendirikan bulu roma Alesha. Seakan sesuatu telah terbangun dari dasar sumur.
Sosok itu tiba-tiba berbalik, hingga tertatap olehnya kehadiran Alesha.
“Alesha .…”
Alesha tercekat. Bagaimana nenek itu bisa tahu namaku? Pikirnya segera. Dia lalu menatap nenek itu dengan ngeri. Dia tidak bisa membuka mulut saking syoknya.
Si nenek hendak membuka mulut lagi ketika dia tiba-tiba teralihkan oleh sesuatu. Alesha menjerit begitu tahu apa yang menarik perhatian wanita tua itu darinya. Dari dalam sumur, keluar tangan hitam kekuningan yang begitu kurus, seolah tak berdaging. Jari-jemari tangan itu panjang dan kotor, dengan kuku panjang yang juga kotor. Beberapa saat kemudian muncullah makhluk paling mengerikan yang pernah dilihat Alesha seumur hidupnya. Dia bahkan berani bersumpah, dia tidak pernah melihat sesuatu yang lebih menngerikan dari apa yang sedang tersaji di depan matanya saat ini.
Makhluk itu kecil, sangat kurus, dengan rambut abu-abu tipis yang kusut masai tumbuh di kepalanya yang licin kecil dan berbenjol-benjol aneh. Tubuhnya yang sangat bungkuk, tangannya sampai terseret-seret di lantai tanah, dengan tulang-tulang punggung yang menonjol. Tapi yang paling mengerikan bukan badannya, tapi wajahnya.
Alesha tahu dia tidak akan pernah bisa melupakan wajah makhluk itu setelah ini. Wajah kurus, tirus, dan seolah tak berdaging, dengan hidung yang nyaris rata dengan wajah. Matanya memancarkan rasa lapar yang amat kentara. Matanya besar dan cekung, dengan mata hitam kekuningan. Sosok itu terlihat sangat tua, sangat kuno, seperti sesuatu yang terlahir sebelum manusia ada di dunia ....
Makhluk itu tiba-tiba mendekati si nenek dan mengambil si anak kecil dari tangan yang terulur di depannya.
“Tidak, tidak! Lepasin aku!!!” seru si anak lelaki dengan penuh ketakutan. Dia berusaha memberontak, tapi jari-jemari si makhluk renta memegang tangannya dengan erat. Dia lalu menyeretnya menuju ke sumur.
Anak kecil itu terus meronta-ronta dan menjerit. Makhluk tak bernama itu lalu meloncat ke bibir sumur, dan membawanya ke kedalaman sumur. Suara si anak kecil semakin lama semakin sayup terdengar, sampai akhirnya ada suara ceburan, dan suara itupun akhirnya menghilang.
Sekeliling Alesha mendadak gelap total. Dia lalu merasakan tubuhnya terjatuh ke belakang dan setelah itu, dia tidak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya.
Daftar Isi Novel Rumah dengan Sumur Kematian
Bab 1
Bab 2
Bab 4
Penasaran baca novel Rumah dengan Sumur Kematian ini lebih lengkap? Yuk, install aplikasi Cabaca untuk baca novel original di smartphone-mu! Selain lebih mudah baca di mana saja, kamu bisa download buku juga. Ada banyak cerita horor lainnya mulai dari Rp5 ribu saja.