Novel Obsesi Paparazzi by Friasta
Novel Obsesi Paparazzi by Friasta – Terkenal, kaya raya, berpendidikan tinggi, reputasi cemerlang, dipuja banyak orang, tidak punya celah untuk kebencian adalah image yang ditampilkan oleh pasangan selebritas kondang, Armand dan Stella Jayanta.
Semua orang mungkin memuja pasangan Jayanta itu, tetapi tidak dengan Dilan Marshall. Dilan merasa kalau pasangan sempurna itu menyembunyikan rahasia gelap yang tidak diketahui oleh semua orang.
Dilan yang berprofesi sebagai pimpinan redaksi Omkara, perusahaan majalah besar di negeri ini, mulai mencari cara untuk membongkar kedok mereka. Salah satu cara yang Dilan pilih adalah dengan memanfaatkan Lumia Bhaskara, seorang mahasiswi jurnalistik yang butuh uang.
Sama-sama terobsesi pada kehidupan pasangan Jayanta, Dilan dan Lumia bekerja keras membongkar kedok mereka. Mereka terus bergerak tanpa tahu kalau ada bahaya yang mendekat.
Ketika bahaya yang datang tidak sebanding dengan rahasia yang berusaha mereka dapatkan, Dilan dan Lumia tidak bisa mundur lagi. Mereka harus menuntaskan obsesinya atau nyawa menjadi taruhannya.
Teaser Novel Obsesi Paparazzi
Armand dan Stella Jayanta dinobatkan sebagai pasangan menikah paling dipuja di industri hiburan. Mereka selalu tampak serasi dan mesra. Penampilan santun tanpa cela di hadapan kamera acapkali dijadikan panutan oleh setiap penggemar. Pendidikan tinggi tercermin dalam polah tingkah dan tutur kata sehari-hari. Gelimang penghargaan dan deretan piala bergengsi semakin menambah pesona pasangan itu. Pantas jika banyak yang mengakui mereka sebagai simbol kesuksesan hidup.
Pasangan ini bahkan punya fansclub bernama Stellar. Basis fans tersebut terus menjamur dan berlipat ganda dari tahun ke tahun, dan mereka adalah kekuatan besar yang dimiliki oleh Armand dan Stella. Adanya basis fans membuat popularitas mereka mungkin tidak akan meredup sampai satu dekade mendatang.
Malam itu Stella duduk di baris paling depan sebuah venue untuk mendengarkan Armand berpidato. Pria itu baru saja memenangkan penghargaan sebagai sutradara terbaik. Filmnya yang berjudul Merpati di Musim Dingin sukses memikat hati para sineas. Film tersebut bercerita tentang perjuangan seorang ibu dalam membesarkan anaknya yang terlahir dengan autisme, sampai sang buah hati berhasil mengubah dunia dengan caranya sendiri.
Di sana Armand berdiri, di atas panggung megah menghadap ke puluhan ribu penonton yang sedang bersorak-sorai menyambutnya. Kisah demi kisah diceritakannya dengan jenaka, dimulai dari munculnya premis film sampai eksekusi jitu yang berhasil dirampungkan oleh seluruh tim produksi. Armand memang bukan sosok yang jumawa meskipun pencapaiannya di pertengahan usia 30-an sangat mengesankan. Dia tak pernah absen menggaungkan nama rekan-rekannya.
Acara penghargaan perfilman nasional yang disesaki oleh para selebriti papan atas di Jakarta itu baru selesai lewat tengah malam. Penonton yang sebelumnya duduk rapi di kursi masing-masing mulai beranjak. Ketika dua sejoli penuh pesona itu berjalan meninggalkan gedung, giliran para wartawan yang sudah menunggu di luar sana beraksi. Barisan pemburu berita yang berasal entah dari mana segera membuat barikade untuk menghambat jalan sang bintang.
"STELLA! ARMAND!"
"OH, MY GOD!"
"Ganteng banget, sih, Armand!"
"Lihat sini, Kak Stella! Cantik banget, deh!"
Di sela-sela sesi tanya-jawab dadakan, Stella dan Armand terus melempar senyum dan melambaikan tangan dengan gemulai. Mereka juga tidak fokus untuk menyimak setiap pertanyaan karena teriakan fans yang datang dari berbagai arah tak berhenti menyela dan mengganggu.
"Kak Stella! Foto, dong!"
"Kapan kalian punya momongan?"
"ARMAND HOT DADDY!"
"Body-goal banget, sih, Kak Stella!"
"Selamat atas penghargaannya, Armand!"
"Kapan ada event lagi buat Stellar?"
Selesai wawancara, para Stellar kembali bersiap dengan kamera di tangan masing-masing. Kerlip flash berkilauan dalam gelap. Merasa tak ada batasan, mereka tak segan untuk mengacungkan ponsel tepat di wajah pemegang titel couple-goal itu. Ada pula yang sampai menarik dan mendorong untuk mengamankan posisi terdekat. Meskipun lelah dan jengkel, senyum lima jari bak sudah terpatri permanen di paras rupawan sang idola.
Perpaduan wangi cardamom dan bergamot menguar dari tubuh Armand, beradu harmonis dengan aroma sandalwood dan patchouli dari sosok pendamping wanita yang sedang berdiri di sebelahnya ketika mereka sedang menunggu petugas vallet mengantarkan mobil ke teras gedung mewah itu.
Saat mobil sporty dengan harga milyaran itu tampak dari kejauhan, Stella mendekat dengan usaha keras untuk meloloskan tubuhnya dari tangan-tangan lancang yang menghalangi. Gaun satin merah backless bertabur sequin yang dikenakannya menjuntai menyapu lantai dan terlihat sangat glamor, tetapi tak lagi mengayun indah ketika Stella tak memiliki banyak ruang untuk melangkah di antara himpitan gerombolan fans garis keras dan wartawan yang datang untuk mengambil foto. Sedangkan Armand, dia santai saja menikmati popularitasnya. Pria itu memakai setelan jas hitam hasil rancangan desainer ternama, tampak gagah sekali berpose di depan setiap lensa.
Petugas vallet datang menyerahkan sebuah kunci, didampingi oleh dua orang personel keamanan yang terlambat hadir untuk membebaskan Armand dan Stella dari jeratan fanatisme yang diberikan fans-fans mereka. Dengan susah payah akhirnya mereka berdua masuk ke dalam kendaraan dan menghilang jauh meninggalkan kerumunan.
“BRENGSEK! Udah gila orang-orang itu! Kampungan banget! Tolol!” Sumpah serapah seketika menjejal keluar dari mulut Stella, berebut resonansi dengan raungan perkasa mesin enam silinder kebanggaan Armand. “Kaki barbar! Tangan primitif! Nggak ada sopan santun sama sekali! Keterlaluan!”
Armand yang memacu kendaraan semakin kencang di tengah lengangnya pusat kota Jakarta pada dini hari hanya bisa terkekeh menanggapi setiap cacian dan makian yang berhamburan dari pita suara milik wanita di sebelahnya itu. “Udahlah.”
“Nggak bisa!” bentak Stella semakin lantang. “Kamu tahu, Man, mereka seenaknya aja injek-injek gaunku tadi! Ini karya Della Wong, lho! DELLA WONG, LHO!!!”
“Ayolah, biarin aja. Kamu, kan, punya banyak baju kayak gitu, La.”
“Baju kayak gitu? Ini barang mahal, Man! Nama Della Wong udah mulai dikenal sama member Haute Couture di Paris! Kamu biarin mereka ngehina mahakarya? Gitu maksudnya?"
“Bukan git—”
“Kamu sadar nggak, sih, seberapa deket mereka nempel setiap ada kesempatan? Kita nggak pernah tahu, lho, bakteri jenis apa aja yang ada di badan mereka itu! Udah napas bau bacin, pakai parfum murahan pula! Jijik banget!"
Kumandang omelan aktris tersohor itu berlangsung sepanjang perjalanan, meresap ke setiap sudut alas dan plafon di dalam kabin mobil. Panel kayu dan jok kulit lembu pastilah sudah jengah mendengar umpatan kasar Stella di belakang layar, meski sebenarnya Armand sendiri tak masalah.
Berbeda dengan Armand, Stella tak lagi menikmati atensi publik. Maklum saja, dia memulai karirnya di industri hiburan sejak masih sangat belia. Dia mantan artis cilik.. Kesuksesan yang telah lama dibangunnya itu terus dia pertahankan dalam setiap fase kehidupan. Dari remaja sampai dewasa. Dari keluguan hingga penuh problematika. Stella sudah sangat muak dengan pers atau fans atau apa pun itu yang seolah tak pernah puas mengejarnya.
***
“Flash! Ada flash! Dari mana, nih?” Stella memekik panik saat dia turun dari mobil di halaman rumahnya. Dia baru saja melihat secercah sinar terang yang sepertinya sengaja dibidik ke arahnya. Stella sangat yakin bahwa itu adalah nyala flash dari sebuah kamera. Dia sudah sangat hafal. "FLASH! Sialan, lo! Dasar penguntit!"
"Sshh! Jangan ribut, La!" Armand yang masih berada di dalam coupe asal pabrikan Jerman itu berusaha mencari sumber kilatan cahaya sembari terus menunduk. "Emang kamu yakin?"
“Yakin, Man! Ada seseorang di sini! Ada yang ngikutin kita sampai ke sini!”
“Jangan digubris dan jangan panik! Cepet masuk!”
Armand yang turut menjadi gusar segera menarik lengan Stella. Mereka pun berlarian menuju rumah bergaya modern kontemporer itu dengan terburu-buru.
“Tapi, kenapa me—”
“Biarin aja! Mereka di luar pagar, nggak mungkin masuk ke dalam. Tolong bersikap biasa aja!”
Pasangan itu bergegas menghindari bidikan kamera tanpa mau sekali pun menoleh ke arah nyala tersebut berasal, lalu membanting pintu samping rumah gedongan itu dengan kencang.
“Apa menurut kamu mereka tahu, Man? Apa mereka tahu kalau kita nggak pernah menikah?” tanya Stella gelisah begitu mereka sampai di kamar. "Orang-orang ini terlalu keras kepala! Pasti mereka udah curiga!"
“Nggak tahu.” Armand duduk di pinggir kasur, tampak cemas memikirkan sesuatu. “Ini bisa jadi ulah Noticia atau Verbuzz. Cuma mereka yang selalu cari gara-gara dan bisa berbuat sampai sejauh ini!”
“Lakukan sesuatu, dong, Man! Aku nggak mau hidupku berantakan!”
“Tenang aja. Mereka pasti bakal dapet pelajaran kalau terus-terusan bersikap kurang ajar kayak gini. Sekarang mending kamu tidur.”
Sembari mengganti gaun satinnya dengan piyama yang tampak menerawang, Stella tak henti mondar-mandir di kamarnya. Menjejak lantai parket kayu dari ujung kanan ke kiri. "Apa ini ada hubungannya sama proyek Papa, Man?" Stella terdiam sejenak sembari melirik sinis, lalu lanjut mencecar, "Atau soal cewek simpenan kamu … si Arini?"
"Ssshhh!" Armand yang tengah menggulung lengan kemejanya segera bangkit dari duduk untuk menghentikan racauan perempuan itu. Dengan berang dia membentak, "Jangan bicara sembarangan kamu, La!"
"Yang sembarangan, tuh, kamu! Hidup aku jadi susah semenjak deket sama kamu! Aku nggak boleh gagal cuma karena kamu, Man!"
***
Seorang gadis dengan gegas masuk ke dalam sebuah mobil. Gadis itu memakai pakaian serba hitam, lengkap dengan topi dan kacamata hitam. Dia menenteng sebuah kamera di tangannya. Dengan perasaan kacau balau dia duduk di baris kedua mobil tersebut, di mana seorang pria di penghujung usia 20-an tengah menunggunya di balik kemudi.
“Gimana?” tanya pria itu.
“Aku gagal, Dan,” jawab gadis itu merasa bersalah. “Aku lupa matiin flash kamera.”
“Ah! Yang bener aja, Lumia? Kamu itu bodoh atau gimana?" bentak pria bertubuh tambun bernama Danny itu. "Lagian kenapa flash jadi masalah, sih? Cuek aja kali!"
Lumia hanya mampu tertunduk menahan gemetar. “Ini pertama kalinya buatku, Dan. Tolonglah, aku minta maaf. Aku gugup banget tadi, apalagi si Stella teriak-teriak gitu.”
“Awas aja kalau gara-gara kamu, saya jadi kehilangan pekerjaan! Dilan pasti bakal marah banget!”
“Tolong, ya, Dan. Tolong jangan laporin ke Pak Dilan. Aku janji bakal berhasil besok. Please … kamu bisa bilang Armand nggak pulang ke rumah, kan?”
Danny benar-benar dibuat jengkel. Tak mengerti juga mengapa seorang profesional seperti dia bisa dipasangkan dengan bocah ingusan seperti Lumia.
"Kamu ngerti tugas kamu nggak, sih? Kamu, tuh, pemburu berita! Begitu ketemu target masa kabur? Harusnya kamu terobos masuk!"
"T-tapi, Dan … gimana kalau kita dilaporin ke polisi?"
"Hello? Kita ini anggota pers, lho! Gini, nih, kalau punya rekan bocah semester tiga! Rada telmi!"
"I—iya, ya? Aku lupa kalau kita punya hak istimewa." Lumia menggaruk kepalanya sambil cengengesan atas kecerobohannya sendiri. Dan tepat sebelum Danny semakin geram, dia melihat sesuatu yang segera membuatnya panik. "Danny! Satpam, Dan! Ayo kabur! Mereka ada lima orang, pasti Armand lapor keamanan!"
Dengan cekatan Danny menginjak pedal gas dalam-dalam, menjauhi jalan depan rumah Armand. Malam itu dia menyerah, tetapi lain kali dia akan membuat perhitungan terhadap rekan barunya itu.
Sementara itu, Lumia Bhaskara tak sadar bahwa akibat tindakannya dia akan terjerat masalah besar. Jika skandal menggemparkan di antara Armand dan Stella sampai terbongkar oleh publik, keselamatan Lumia sendiri yang akan berada di ujung tanduk. Saat itu jiwa naifnya merasa bahwa dia hanya sedang bekerja untuk mencari sebuah berita. Namun, sebenarnya yang dia lakukan itu sangatlah berbahaya.
Daftar Isi Novel Obsesi Paparazzi
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Penasaran ingin baca novel Obsesi Paparazzi ini lebih lengkap? Yuk, download aplikasi Cabaca untuk baca novel murah di HP kamu! Selain lebih mudah dan nyaman, kamu gak perlu lagi cari link download pdf novel. Kamu pun bisa dukung penulis Indonesia, mulai dari Rp5 ribu saja.