Novel Indira by Krkawuryan
Novel Indira by Krkawuryan – Indira adalah sahabat mereka. Ditemukan bunuh diri setelah hari-hari sebelumnya hilang tanpa ada yang tahu ke mana.
Sepuluh tahun kemudian sebuah surat dikirim ke rumah Koko, bertuliskan satu kata 'Pembunuhan.' Dikirim dari rumah Indira yang kini tak terpakai. Penasaran, Koko mengajak Erin, Abi dan Padi untuk mencari tahu kebenaran di balik kematian Indira.
Satu per satu, masa lalu terungkap. Semakin dalam mencari, semakin jungkir balik perasaan mereka. Setiap kenyataan yang terbuka membuat mereka sadar, kalau ternyata mereka tidak memahami Indira sama sekali, tapi kebalikannya, Indira sangat memahami mereka.
Cinta dan persahabatan pun diuji untuk kedua kalinya.
Teaser Novel Indira
“Jangan berharap, kesedihan itu menyakitkan.”
Lagi, untuk kesekian kali kalimat itu datang lagi. Diucapkan dengan wajah penuh ketakutan dan kesedihan, berharap diselamatkan. Padi langsung tersadar setiap kali adegan mengerikan itu datang ke mimpinya. Tersadar dengan wajah tegang serta dahi berpeluh. Dia dalam kondisi ketakutan akut.
Belakangan mimpi itu mulai datang lagi, bahkan lebih intens. Tidur malam tidur siang sama mencekamnya. Meskipun sudah sepuluh tahun berlalu, tetap saja dia tidak bisa membiasakan diri dengan kalimat itu, dengan visual itu. Terlalu traumatis.
Perlahan Padi menegaskan pandangannya, memperhatikan lajur cahaya yang menerobos melalui jendela kamarnya.
“Bukan, ini bukan cahaya matahari,” gumamnya setelah yakin itu hanya bias lampu jalan yang berada tepat di seberang apartemennya. Malam masih menguasai.
Tak sampai sepuluh menit, Padi memutuskan bangkit dari tempat tidur setelah gagal untuk kembali terlelap. Satu-satunya keuntungan dari mimpi buruk yang hampir tiap malam itu adalah, Padi tak lagi memerlukan alarm untuk terbangun, dia akan terjaga sampai pagi setelahnya.
Gontai sedikit tak terarah, Padi ke toilet, hanya untuk berdiri lumayan lama di depan cermin, memandangi kantong hitam di bawah mata yang sudah semakin gelap, begitu juga dengan wajahnya yang luar biasa kusut dengan janggut dan kumis yang tumbuh tipis agak berantakan, merata dari dagu hingga ke rahangnya. Rambutnya yang bergelombang di atas bahu dia ikat ke atas kepalanya, memastikan tidak basah karena dia berniat membilas wajah.
“Mau apa kamu datang lagi, Ra?” gumamnya lagi.
Tak lama dalam lamunan, getar ponsel di atas meja mengusiknya. Agaknya dia sudah tahu siapa yang menghubunginya pagi-pagi buta begini.
Lima detik tak diacuhkan, ponselnya kembali bergetar, lebih singkat namun repetitif. Setidaknya ada lima pesan tertera di sana. Padi enggan membukanya karena dia tidak ingin si pengirim pesan tahu kalau pesannya sudah terbaca. Pasalnya Padi paham betul si pengirim pesan adalah penganut golongan di-read-tanpa-di-reply adalah kepedihan yang nyata.
[Are you okay, love?] Hanya pesan itu yang bisa terbaca di laman muka ponselnya.
Padi hanya membalas dengan helaan napas panjang. Seakan tak peduli dengan nada khawatir di dalamnya. Dia malah memilih menghampiri laptopnya yang terletak di atas meja kerja yang membelakangi jendela besar apartemennya. Agaknya, memperhatikan cash flow proyek kantornya jauh lebih menarik ketimbang membalas pesan dari kekasih.
Tiga jam berlalu, bising lalu lintas mulai menyapa telinga. Angin hangat dengan aroma yang sulit dikenali mulai menyisip melalui jendela yang memang Padi buka sedikit sejak terbangun tadi pukul dua. Dia tetap memfokuskan matanya pada sederet angka di layar laptonya, tidak peduli matahari pagi sudah menerangi setengah unit apartemennya. Terlalu fokus membuatnya buta dan tuli.
Sedang seru-serunya melihat angka, getar ponsel kembali memecah kosentrasi. Matanya beredar mencari jam yang menempel di dinding dekat toilet.
Mematung di depan laptop selama tiga jam tanpa asupan air dan makanan membuatnya agak linglung. Tapi ini belum seberapa, dia pernah berdiam diri selama sepuluh jam di depan laptopnya, mengerjakan pekerjaan untuk satu bulan ke depan.
Bos dan rekan kerjanya mengira Padi adalah seorang pecandu kerja. Namun, mereka salah. Padi hanya tidak ingin memiliki waktu kosong, karena waktu kosong akan menyedotnya ke masa lalu, mengingatkan dirinya akan Indira.
“Halo, morning,” sapanya ramah setelah melihat nama yang muncul di layar ponselnya adalah Erin, kekasihnya yang semalam tidak diacuhkan pesannya.
“Hai, Sayang. Baru bangun atau kamu begadang lagi?” Suara di seberang membalas jauh lebih ramah. Perbedaan kadar kasih sayang terlihat jelas di sini.
“Enggak, baru saja bangun. Karena teleponmu.”
“Yeaay, berarti hari ini kita bisa kencan seharian.” Erin bersorak bak anak kecil dikasih permen.
“Maaf, aku tidak bisa.” Sepotong kalimat membuat permen Erin lenyap. “Aku harus menyelesaikan laporan bulanan hari ini. Mau di-submit besok.”
Sunyi, hanya hela napas sarat kekecawaan yang terdengar berulang. Tiga minggu sudah Erin menahan rindu, dan hari ini dia harus menahannya lagi.
Ini Sabtu keempat Erin ditolak menemui kekasihnya sendiri. Dalih mengerjakan laporan, mengecek laporan, dan merevisi laporan sudah menjadi auto reply kepadanya. Mungkin minggu depan, Padi akan berdalih mengunyah laporan.
“Jangan marah, kamu tahu, kan—“
“Aku tahu.” Erin memotong dingin.
“Rin, jangan seperti itu. Kamu tahu kan, bagaimana pekerjaanku.”
Senyap.
“Tolonglah, jangan membuat perasaan menjadi tidak nyaman. Lagi pula, aku butuh tidur.”
“Jadi semalam kamu terjaga?”
“Tidak, tapi aku terbangun saja.”
“Kamu pasti melihat pesanku dan mengabaikannya lagi.”
“Bukan begitu. Aku—“
“Berhentilah menyiksa dirimu, Pad. Terima kenyataanya,” potong Erin dan langsung memutus teleponnya.
Satu tahun sudah hubungan mereka berjalan, satu tahun pula Erin menelan pil pahit. Cintanya tak pernah berbalas dan dia sadar itu. Tapi tidak sekali pun Erin memiliki keberanian untuk memutuskan hubungan. Akal (tidak) sehatnya memaksanya untuk tetap menelan pil itu, pahit memang, tapi menyembuhkan.
Padi adalah penyembuh untuk segala perasaan bersalah yang menghantuinya selama sepuluh tahun belakangan. Padi adalah udaranya Erin.
Sementara itu, kebalikan dari Erin yang mencintai dengan mudah. Padi justu mati-matian berjuang untuk bisa mencintai gadis yang menurutnya lebih pas menjadi sahabatnya saja, seperti dulu.
Tapi semakin keras Padi berjuang, semakin sering dia bermimpi buruk. Bayang-bayang Indira tidak sekuku pun beranjak pergi. Hatinya menolak menyingkirkan wanita yang pernah membuat dunianya jungkir balik, dari cerah berwarna, menjadi lekam sehitam-hitamnya.
Lebih parah, Indira terus menerus menerornya melalui mimpi, mengatakan hal yang sama, sebuah kalimat terakhir sebelum tragedi itu terjadi. Tragedi yang mengubah segalanya, memorak-porandakan hidup dan hatinya.
Sekarang pun, detik ini, dia sedang berjuang untuk tidak memikirkan Indira.
Dengan gegas Padi menyambar silent gitar yang terpajang rapi di sudut ruangan, memasukkannya ke dalam tas dan langsung beranjak keluar, menuju studio langganannya, tempat di mana dia menghabiskan waktu jika tidak bekerja dan tidak kuliah. Dia tidak mengeloskan sedetik pun waktu luang dalam 24 jamnya. Karena waktu luang hanya akan menyeretnya kepada gadis itu lagi. Indira harus pergi, Padi harus melanjutkan hidup.
Daftar Isi Novel Indira
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Penasaran sama cerita novel Indira? Yuk install aplikasi Cabaca untuk baca novel online sampai tamat, tentunya lebih privat dan nyaman. Gak hanya ada novel romantis, ada juga novel tentang persahabatan serta atau novel dengan tema menarik lainnya mulai dari Rp5 ribu. Buruan install di Google Play, gak perlu lagi cari link download pdf novel deh!