Novel I Kissed My Boss by Maria Perdana
I Kissed My Boss by Maria Perdana – “Gue tantangin lo nyium cowok mana pun di kelab ini!"
Omongan orang mabuk seharusnya tidak perlu kugubris. Masalahnya, yang bicara ini teman baikku dan dia mengancam tidak mau pulang kalau aku tidak melaksanakan tantangan tidak masuk akalnya. Sambil menelan harga diri, akhirnya aku terpaksa mendekati seorang pria secara acak di dalam kelab malam.
"..., kalau kamu nggak keberatan, saya mau minta izin mencium kamu. Kalau saya nggak melakukannya, teman saya nggak mau pulang.” Aku menatapnya penuh harap. “Please.”
Setidaknya kali ini, harga diriku tidak jatuh untuk kedua kalinya karena lelaki itu bersedia menciumku. Tidak hanya itu. Laki-laki itu tidak melakukannya dengan setengah hati.
This man surely knows how to kiss a woman!
Aku pikir ciuman itu akan jadi interaksi pertama dan terakhir kami. Namun, bukan hidup namanya kalau tidak memberi penghuninya kejutan besar: pria yang kucium di kelab malam tiga hari lalu itu adalah atasan baruku. That means ... I kissed my boss that night!
Oh, tidak bisakah bumi menelanku saja sekarang?
Teaser Novel I Kissed My Boss
ANITA
“Gue tantangin lo nyium cowok mana pun di kelab ini! Semua cowok kecuali Tri, ya!” seru seorang wanita di sampingku. Perempuan itu tak lain adalah rekan kerja sekaligus teman dekatku, Ava. Rambut cokelat terang tebal yang biasa dibiarkan tergerai kini tergulung di puncak kepala.
“Ha?!” Aku balas berteriak. Bukannya marah. Aku hanya merasa mulai tuli akibat kencangnya musik di kelab malam ini.
Ava memutar bola mata. Dia menyerongkan badan. Bibirnya berhenti hanya beberapa sentimeter dari telingaku. Merasa Ava berada terlampau dekat, aku pun sedikit menghindar. Sayangnya, perempuan itu sudah siaga. Tangannya menahan bahuku.
“Gue bilang, cium satu cowok di kelab ini!” Meski sudah cukup lantang, suara Ava tetap saja teredam keriuhan di kelab. Aku tidak memahami mengapa tadi aku pasrah saja diseret manusia ini ke tempat hiburan malam.
“Harus banget Anita nyium cowok asing? Apa nggak ada tantangan lain, sih?!” Yang protes itu bernama Tri. Singkatan dari Dimitri. Bukan karena dia anak ketiga di keluarganya. Dia hanya malas namanya disingkat Dim.
“Nggak usah jelly gitu, dong.” Ava menyikut pelan lengan Tri.
Tri mengerling tajam. “Gue nggak cemburu. Cuma lo bikin teman kita kelihatan kayak cewek murahan dengan nyium sembarang cowok.”
“Who cares?!”
“Well, we should!”
Ava mengibaskan tangan. “It’s not like they’re going to see each other again if the kiss went terribly wrong. Lagian di sini gelap! Wajah Anita sama cowok itu nggak bakal kelihatan jelas.”
“I still think this is a bad idea.” Tri menggeleng sebelum menenggak birnya.
“Lo nggak bakal mikir ini ide gila kalau gue nyuruh Anita nyium lo,” seloroh Ava.
Tri tidak menanggapi. Dia pasti berpikir sama denganku. Membantah Ava adalah tindakan sia-sia. Sebab, perempuan itu selalu punya jawaban untuk setiap sanggahan.
“Gimana?” Ava menyenggolku. “Katanya lo bilang lo bisa fun juga.”
“I am fun!” balasku, tidak terima Ava berpikir aku bukan orang yang bisa bersenang-senang.
“Ingat, An. Being fun doesn’t mean doing random, degrading things.” Tri memperingatkan dengan nada sinis.
Ava kembali memutar bola mata. Entah mengapa perempuan ini gemar sekali melakukan hal itu. Raut malasnya hanya bertahan sesaat sebelum dia menatapku lagi, menagih jawaban atas tantangannya. Seandainya aku tahu malam ini Ava akan mengajukan ide-ide gila seperti ini, mungkin aku memilih batal ikut saat perempuan itu mengajakku pergi sepulang kerja.
Saat tahu Ava ingin mampir ke sebuah kelab malam yang baru dibuka di area Tangerang Selatan, aku sudah ingin menolak. Pasalnya, kelab malam bukan tempat favoritku untuk menghabiskan akhir pekan. Aku lebih suka minum java chip frapuccino di area nongkrong terbuka di sebuah mal di dekat kantor dibanding ke tempat hiburan malam. Aku pikir Tri juga bisa saja menemani Ava. Setidaknya, perempuan itu tidak akan sendiri. Namun, Ava benar-benar tidak membuatku lolos mudah.
“Lo nggak asyik, ah! Masa nggak mau nemanin teman sendiri?” sindirnya tadi sore. Dia masih menambahkan, “Sekali-kali nggak ada salahnya bersenang-senang. Lo nggak pernah pergi jalan-jalan kalau nggak ada yang ngajak. Lo juga jarang banget ngajak kami jalan-jalan. Masa lo nggak bosan sama hidup monoton lo yang isinya cuma kantor-apartemen?”
Seandainya hanya perlu menjawab pertanyaan terakhir itu, aku bisa-bisa saja mengatakan tidak keberatan dengan gaya hidup membosankan ini. Hanya saja kemudian, Ava tak henti merajuk. Dia tidak lelah menggangguku sepanjang hari.
Kalau sudah begini, bagaimana caranya aku menolak? Terlebih setelah Tri enggan pergi tanpaku. Katanya, dia tidak mau dituduh macam-macam bila Ava sampai mabuk dan dia ditinggalkan berdua saja dengan perempuan itu.
Tak berapa lama setelah tiba di kelab, Ava langsung memesan cocktail yang berbeda-beda. Bahkan menawariku dan Tri berbagai minuman dengan harga yang tidak murah. Kami memang baru menerima bonus dari hasil penilaian kerja, tetapi tetap saja. Menghambur-hamburkan uang bonus bukanlah gayaku. Aku butuh mengumpulkan pundi-pundi demi masa tua tenang. Itulah mengapa aku tidak keberatan hidupku berputar di kantor dan apartemen.
Kalau aku punya cukup waktu buat istirahat, aku bisa bekerja lebih produktif. Kerja produktif sama dengan penilaian kerja yang baik. Artinya, aku punya kesempatan besar mempertahankan jabatan. Punya posisi di perusahaan sama dengan punya uang. Iya, iya. Pemikiran itu sangat menyederhanakan sesuatu yang rumit, tetapi setidaknya kalian melihat hubungannya, bukan? Aku tidak mengerti apa yang salah dengan tabiat menyukai rutinitas.
“You know what? Tri benar. Ganti tantangannya kek,” balasku.
“Boo!” seru Ava tiba-tiba. Dia lantas menunjukku dan kembali berteriak, “Boring, boring, boring!”
Mantra itu terus dikumandangkannya sampai semua orang yang berada di sekitar kami menatapku. Seiring waktu, bukannya Ava memelankan suara, perempuan ramping itu malah makin menjadi-jadi. Dia sampai berdiri dan mengajak pengunjung yang lewat untuk ikut mempermalukanku.
Aku berusaha menariknya. Menyuruhnya kembali duduk. Tri ikut membantu. Sayangnya, Ava tampak tidak peduli sama sekali.
“Oke! Gue terima tantangan lo! Now, would you stop?!” hardikku, tak kuasa menanggung malu dan kekesalan. Aku menarik lengan Ava. Tak lagi peduli bila aku menyakitinya. “Tapi abis itu, kita pergi dari sini.”
Ava menaikkan alis. Menelisik kesungguhanku. Akhirnya, perempuan itu duduk dengan senyum penuh arti tersungging di bibir. Pertanda dia yakin aku memang berniat menyanggupi tantangannya.
“Apa-apaan, sih, lo?!” sergah Tri sambil menyentak tangan Ava. Lagi, perempuan itu bersikap tak acuh.
Aku mengangkat tangan sebelum Tri bisa protes. “Gue kelarin tantangan ini biar kita bisa cepat balik. I’ll be fine. Don’t worry.”
“Tuh. Cowok-cowok yang pada berdiri di sana.”
Dengan dagunya, Ava menunjuk sekumpulan lelaki yang berkumpul di sisi kiri kelab. Aku pun mengikuti arah pandangnya. Menangkap sekelompok laki-laki yang mengitari satu meja bundar. Dua di antara mereka tengah duduk. Sedangkan dua lainnya berdiri. Mereka terlihat asyik berbincang. Aku jadi sungkan kalau harus menyela pembicaraan mereka. Hanya saja, bila melihat laki-laki di sekeliling kami, cuma mereka yang terlihat paling … manusiawi. Mereka tidak tampak mabuk. Terkesan tidak peduli dengan sekitar dan malah fokus pada obrolan.
“Lo cium salah satu dari mereka dan gue setuju buat pulang,” tegas Ava.
Kuhela napas dalam-dalam sembari mengambil satu sloki tequila milik Ava. Kemudian, aku menyambar sloki milik Tri dan menenggaknya sebelum mengisap sari limun untuk menetralisasi sensasi terbakar dari tequila. Tri masih berusaha membujuk. Mengatakan aku tidak perlu menyelesaikan tantangan. Namun, aku juga mesti menyelamatkan harga diri akibat tingkah Ava tadi.
Di setiap langkah, aku berusaha menelan mentah-mentah harga diri. Aku pasrah kehilangan muka saat telunjukku mengetuk pundak salah satu pria yang tengah berdiri. Lelaki berambut pendek itu tersentak. Dia membalikkan badan dengan cepat. Mata kecilnya terbelalak saat tatapan kami bertemu. Ekspresi bingung melapisi wajahnya.
“Hai,” sapaku.
“H-hai,” balasnya ragu, seolah tidak yakin aku tengah berbicara dengannya. Teman-temannya pun ikut diam. Mengawasiku dengan penasaran.
“Kamu punya pacar? Istri?”
“Ha?” tanggapnya cepat. Dahinya berkerut dalam. Tubuhnya ditarik ke belakang. Menunjukkan ketidakpercayaan pada pertanyaan yang kuajukan. Kalau jadi dia, aku mungkin juga menganggap aku orang aneh. Kenal saja tidak. Tiba-tiba sudah bertanya hal-hal personal.
Mau tidak mau, aku menjelaskan tantangan yang diberikan Ava padaku. Sebagai bentuk rasa hormat, aku juga perlu memberitahu calon mangsa kalau dia sebenarnya menjadi bagian dari tantangan konyol yang diajukan temanku. Bukan karena aku menganggapnya sangat menarik sampai aku tidak bisa mengontrol diri untuk menciumnya. Meski, ya, harus kuakui, lelaki ini memang cukup tampan. Rapi dengan blazer berwarna abu yang membungkus kaus hitam polos. Kaki kurusnya makin terlihat panjang dengan celana gelap.
“Jadi, kalau kamu nggak keberatan, saya mau minta izin mencium kamu. Kalau saya nggak melakukannya, teman saya nggak mau pulang.” Aku menatapnya penuh harap. “Please.”
Laki-laki itu masih bergeming. Pandangannya berlari dari aku ke Ava yang hanya berjarak beberapa meter di belakangku. Urat-urat tegangnya memang sudah sedikit mengendur. Akan tetapi, dia masih terlihat menjaga jarak.
“Oh. Jadi itu yang bikin temanmu ribut banget tadi?”
Awalnya, aku berpikir pria ini tengah menyindir kami. Akan tetapi, sorot jenaka yang dilancarkan matanya justru memperlihatkan dirinya yang cukup terhibur melihat tingkah Ava. Senyum sumirnya muncul akibat menahan tawa geli. Otot-otot kaku di tubuhku perlahan jadi rileks. Aku meringis bersalah.
“Ya. Sorry about that,” balasku lirih.
“Say that again?!” teriaknya.
Aku mengerjap. Berpikir pria ini kembali menyuruhku minta maaf. Namun, melihat raut bingungnya, aku akhirnya mengerti kalau dia benar-benar tidak mendengar ucapanku tadi. Salahku juga, sih. Suara kecilku tertelan musik memekakkan kelab malam.
Aku memaksimalkan volume suara. “I said I was sorry about my friend! Kalau lagi normal, dia nggak kayak begitu kok. Dia cuma nyusahin orang kalau lagi mabuk.”
Lelaki itu menawarkan tatapan teduh saat mendengkus geli. “Kamu tahu kamu nggak perlu bikin excuse apa pun buat temanmu, kan? Dia perempuan dewasa dan bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri. You don’t have to explain anything.”
Perkataan laki-laki ini sederhana. Hanya saja, tidak pernah ada satu orang pun yang pernah mengatakan hal seperti itu padaku. Acap kali ketika Ava membuat ulah di kelab malam, aku dan Tri yang menyampah telinga orang dengan permintaan maaf. Ava, sih, tidak memahami aksinya sendiri. Sedangkan aku dan Tri yang harus menanggung malu.
“Y-ya.” Menyadari pria itu kembali kesulitan mendengarku, aku pun kembali mengencangkan suara. “Saya tahu.”
Dia manggut-manggut. “Oke. So now, where were we?”
Aku tergugu. Melihat bahasa tubuhnya, aku merasa lelaki ini memberiku kesempatan untuk mengubah pikiran. Akan tetapi, aku terlalu lelah menghadapi Ava. Aku tidak ingin berdebat panjang dengan perempuan itu. Urat maluku sedang tidak panjang malam ini. Aku hanya ingin menyudahi malam dan pulang.
“Kalau kamu single, I need to kiss you, so I can go home,” jawabku pasti.
Meski penerangan sedang remang, aku masih bisa menangkap keraguan pria jangkung itu. Aku pikir dia gamang karena dia memang sudah punya istri atau pacar. Namun, teman-temannya bersorak dengan yakin kalau dia lajang. Lelaki itu juga tidak membantah. Sebut aku naif, tetapi aku memilih percaya saja.
“Apa ini bakal jadi ciuman pertamamu?” tanyanya.
Daftar Isi Novel I Kissed My Boss
Bab 1
Bab 2
Bab 4
Baca deh kelanjutan novel I Kissed My Boss ini dengan install aplikasi Cabaca. Cabaca adalah aplikasi baca novel online yang menyediakan beragam novel berkualitas. Tak hanya cerita tentang jatuh cinta dengan CEO atau novel tentang office life, tapi juga cerita romantis dan novel dewasa. Modal Rp5 ribu aja kamu sudah bisa baca cerita terbaru di HP kamu. Tentunya jadi lebih nyaman dan privat, kan? Buruan, download aplikasinya di Play Store.