Novel Husband from the Future by Andini Yudita Sari

Novel Husband from the Future by Andini Yudita Sari
Photo by Thomas William / Unsplash

Novel Husband from the Future by Andini Yudita Sari “Time travel always has consequences.”

Elisha Ranum Owens (El) tidak pernah tahu bahwa tinggal di rumah nenek di Yogyakarta akan mengubah kehidupannya. Deringan telepon tua berwarna tosca dari bawah kolong tempat tidur nenek di hari pertama ia datang ke Yogyakarta menjadi sebuah portal yang mempertemukan El dengan suami masa depannya, yaitu Bintara (Bi).

Bi datang ke masa lalu dengan membawa dua misi, yaitu menyampaikan rasa rindu dan cintanya terhadap El dan membuatnya bahagia dengan caranya. Dan dari situlah… kehidupan El di Yogyakarta dimulai. Namun, datangnya Bi ke masa lalu ternyata juga mengubah timeline hidup mereka.

Novel Husband from the Future

Satu Bulan Sebelumnya.

Pasar Minggu, Jakarta

“Rey! Kalau kamu maksa aku terus... sumpah! Aku bakalan teriak!” ucapku padanya seraya mencoba untuk melepaskan tanganku yang sedaritadi ditarik olehnya.

“Sejak kapan kamu jadi begini, sih?” tanyanya tanpa melihat ke arahku yang kesakitan.

“Tanganku sakit,” kataku sambil terus mencoba melepaskan pegangan tangannya. “Kamu laki-laki paling kasar yang pernah aku temui tahu!”

Tiba-tiba, langkah Rey terhenti. Ia memalingkan wajahnya ke arahku dan menatapku lekat-lekat. “Kamu mau tahu kasarnya aku kayak gimana?” tanyanya padaku sambil memegang kedua bahuku secara kasar.

“Apaan, sih?!” tanyaku padanya. “Lepasin!”

“Lepasin?” tanyanya. “Oke!” katanya, lalu mendorongku sangat keras menjauhi dirinya.

Bruk!

“Aw!” keluhku pelan. Kepalaku mendarat terlebih dulu di aspal. Rasanya sakit luar biasa. “Re-rey. A-aku ngga bisa lihat,” ucapku.

“El? A-aku ngga bermaksud—“

Pandanganku buram. Yang aku tahu adalah rasa sakit ini lama-lama memudar dan Rey telah menyakitiku... untuk yang kesekian kalinya.

***

Kulon Progo, Yogyakarta

Setiap mahluk hidup pasti kembali kepada pencipta-Nya. Begitu juga dengan nenek yang selalu memintaku untuk memanggilnya dengan sebutan ‘Mbah’ dari semenjak aku kecil sampai dewasa. Tetapi, tetap saja aku memanggilnya dengan sebutan ‘Nenek’. Well, ada sedikit penyesalan karena aku tidak menuruti permintaan terbesarnya itu, selain menikah.

Tepat enam bulan lalu, nenek meninggal dunia karena serangan jantung. Nimah—asisten rumah tangga nenek yang sudah berkerja untuk nenek selama lebih dari lima belas tahun menelepon di malam hari dan berkata, bahwa nenek sudah tiada. Kepergian nenek menyisakan kerinduan di hati setiap orang yang sangat-sangat menyayanginya. Salah satunya adalah aku yang akhirnya memutuskan untuk pindah dari Jakarta ke Kulon Progo, Yogyakarta.

Setelah nenek meninggal, rumahnya yang berada di Yogyakarta menjadi tidak terurus. Semua anak-anaknya berada di Jakarta dan tidak ada sama sekali yang berinisiatif untuk meluangkan sedikit waktu untuk mengurusnya. Mama sempat bilang bahwa rumah itu tidak boleh dijual. Kakek yang berwasiat sepuluh tahun lalu sebelum beliau meninggal. Akhirnya, Nimah yang mama suruh datang sesekali ke rumah nenek dan membersihkan semua perabotan di dalamnya agar tidak berdebu dan rusak.

Sebenarnya, keputusanku untuk pindah ke Yogyakarta bukan hanya karena aku merindukan nenek. Tetapi, juga karena ingin menghindari Rey—mantanku yang tiba-tiba menjadi tidak terima bahwa kisah cinta kami sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Aku mendadak merinding setiap membicarakan tentang dirinya.

“Mbak Elisha.” Suara Nimah sontak membuyarkan lamunanku. Aku segera membalikkan badan dan menemukan perempuan berusia 40 tahun tersebut sedang berdiri di belakangku dengan senyumannya yang khas.

“Nimah,” panggilku seraya meraih tangannya dan menciumnya.

“Baru sampai, Mbak? Apa sudah dari tadi?” tanyanya sambil menepuk-nepuk pundakku.

“Baru saja sampai. Tapi, pintu pagarnya terkunci,” jawabku sambil menunjuk ke arah pagar kayu yang hanya setinggi pinggangku itu.

Nimah mengangguk, lalu berjalan ke arah pagar dan mengeluarkan kunci dari sakunya. “Semenjak ibu ndak ada, rumah ini jadi terlihat kusam, Mbak. Seakan-akan kehilangan jantungnya sendiri,” ujarnya seraya membuka pagar. “Mari masuk, Mbak. Biar saya saja yang bawa barang-barangnya,” lanjutnya seraya menarik dua koper sekaligus ke dalam rumah, sedangkan aku masih saja terdiam di depan rumah.

Rumah ini memang terlihat kusam sekali dan jantungnya rumah ini memang nenek. Biasanya, jam segini, nenek akan keluar dari rumah dan sibuk menyirami bunga-bunga miliknya. Ada bunga sepatu, mawar, melati, anggrek, dan dua macam lagi yang tidak aku ketahui namanya.

“Mbak Elisha,” panggil Nimah lagi.

“Em,” gumamku seraya menarik koperku yang terakhir dan memutuskan untuk masuk rumah.

Rumah nenek masih terlihat rapi seperti biasanya. Mungkin Nimah benar-benar senang merawat semua perabotan kayu di rumah nenek. Kerja keras Nimah terbukti dengan tidak adanya satupun debu menempel di meja-meja kayu dan kursi.

“Nimah,” panggilku pelan.

Nggih, Mbak?”

Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum simpul. “Mau tinggal di sini lagi nggak? Temenin aku,” pintaku padanya.

Nimah terlihat ragu saat ingin menjawab. Tetapi, sehabis itu ia tersenyum. “Saya punya dua cucu, Mbak. Ibunya pergi jadi TKI di Arab dan bapaknya menghilang sudah tiga bulan. Saya yang harus jaga jadinya. Kalau siang hari untuk masak dan bersih-bersih, saya Insyaa Allah bisa, Mbak,” ucapnya takut-takut.

Aku mengangguk tanda mengerti. “Ngga apa-apa, Nimah. Aku ngerti. Yang penting Nimah ke sini. Ajak cucu-cucunya juga nggak apa-apa. Biar rumah ini jadi rame,” balasku seraya membuka pintu kamar utama, yaitu kamar nenekku.

“Ibu selalu bilang, kalau suatu saat nanti pas beliau ndak ada, Mbak Elisha yang bakalan tinggal di sini. Ternyata ibu benar. Mbak yang akan mengurus rumah ini,” ujar Nimah sambil memasukkan dua koper ke dalam kamar nenek yang sekarang mau tidak mau akan menjadi kamarku.

Kamar nenek hanya berukuran enam meter persegi. Tidak sebesar kamarku di Jakarta. Tetapi, baunya yang khas membuatku lebih nyaman berada di kamar ini, dibandingkan dengan kamarku sebelumnya.

“Mbak, saya pamit dulu. Mau ndulangin cucu. Mereka belum makan. Nanti sore menjelang magrib, saya datang bawa makanan untuk Mbak,” ujarnya seraya pamit.

Aku mengangguk pelan. “Terima kasih, Nimah.”

“Sama-sama, Mbak,” ujarnya seraya memberikan sepasang kunci kepadaku, lalu keluar dari rumah.

Aku terdiam sejenak karena bingung harus apa. Rumah ini terlalu besar untuk ditinggali sendirian. Ada dua kamar tidur, satu kamar mandi dan dapur yang luasnya hampir sama dengan kamar utama, dan belum lagi ruang tamu sekaligus ruang keluarga yang luasnya lebih-lebih dari kamar utama.

Entah apa yang dipikirkan oleh kakek sampai-sampai membuat setiap ruangan di rumah ini menjadi tidak proporsional. Tetapi, setidaknya aku beruntung karena memiliki dapur yang luas di belakang. Apalagi, peralatan untuk membuat kuenya sangat lengkap. Jadi, setidaknya aku bisa menyalurkan hobiku di dapur tanpa perlu membeli perabotan baru lagi.

“Lebih baik aku beres-beres baju, habis itu mandi,” ujarku pada diri sendiri seraya menarik koper-koperku ke depan lemari nenek.

Aku membuka lemari kayu milik nenek perlahan. Lemari tersebut sudah kosong karena mama memutuskan untuk memberikan baju-baju nenek yang masih bagus kepada yang membutuhkan. Sementara yang jelek, mama buang begitu saja.

Aku langsung membuka koperku dengan cepat, lalu menata semua baju yang ada di koper satu per satu. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menata bajuku. Setelah selesai, aku langsung merebahkan diri di tempat tidur dan lagi-lagi terdiam. Membayangkan bila nenek masih ada di sini, pastinya aku akan tidur di sisi kanan tempat tidur dan nenek di sisi kirinya. Lalu, kami akan bersenda gurau sampai nenek memejamkan matanya.

Indah.

Kenangan bersama nenek selalu indah di benakku. Tak pernah sedikitpun aku tidak merindukan sosoknya. Bahkan, di setiap liburan sekolah pun aku memilih untuk pergi ke Yogyakarta dibandingkan dengan bermain bersama teman-temanku.

Nenek selalu bilang, bahwa dirinya kesepian dan anak-anaknya tidak ada yang bisa beliau andalkan. Cucu nenek hanya satu, yaitu aku. Tante Rindu—adik mama—memutuskan untuk tidak memiliki anak karena ia lebih memilih kariernya yang memang sudah sangat bagus. Sementara Om Brata belum menikah sampai sekarang.

Kriiiing!

Aku langsung terlonjak kaget, ketika mendengar bunyi telepon berdering. Aku langsung keluar kamar dan berlari ke ruang tamu. Tetapi, ternyata telepon milik nenek rusak. Bulu kudukku mendadak berdiri karena kejadian tadi.

Aku bukanlah seorang penakut sama sekali. Aku tidak percaya dengan orang yang bisa melihat mahluk halus, kecuali mereka dibantu oleh sesuatu kekuatan dari yang tak kasatmata. Tetapi, kejadian tadi benar-benar membuatku kaget bukan main.

Suara dering tersebut sangatlah nyaring. Seakan-akan, teleponnya berada di dalam kamar. Tetapi, tidak ada telepon sama sekali di kamar. Hanya ada ponselku yang bunyinya juga tidak seperti itu.

No! Aku tidak boleh takut sama sekali. Rumah ini memang sudah enam bulan tidak ditempati oleh orang. Hanya Nimah saja yang suka bersih-bersih dan itupun tidak sampai menginap.

Akhirnya, aku memutuskan untuk masuk kembali ke kamar dan duduk di pinggir tempat tidur dengan perasaan yang tidak karuan.

“Aku belum makan. Mungkin lapar, makanya berhalusinasi,” ujarku pada diri sendiri seraya mengusap-usap perutku yang sudah keroncongan. “Cuma halusinasi, El.”

***

Suara dering itu tidak terdengar lagi sampai malam hari. Mungkin memang hanya halusinasi saja. Aku juga sudah bertanya kepada Nimah dan beliau berkata, bahwa telepon nenek hanya satu, yaitu yang ada di ruang tamu.

“Gimana hari pertama di rumah nenek?” tanya mama dari seberang, saat aku sedang mencuci piring.

“Sepi, Ma,” jawabku seraya menaruh piring yang sudah bersih ke rak piring di sebelah tempat cucian.

“Nimah?”

“Nimah nggak bisa nginep di sini. Anaknya jadi TKI di Arab dan suami anaknya itu pergi nggak ada kabar. Nimah harus ngurus dua cucunya, deh!”

Mama terdengar bergumam, “Kamu beneran nggak apa sendirian, El?” tanyanya ragu.

“Nggak apa, Ma. Lagian, tempat tidurnya nenek lebih nyaman dari yang di Jakarta dan nggak ada Rey yang tiap pagi bertengger di depan rumah untuk minta kesempatan yang keseribu kalinya,” jawabku mantap.

“Kalau kamu udah bilang begitu, mama nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Jaga diri, El. Mama mau siapin makan untuk papa dulu. Besok mama telepon lagi, ya! I love you, anak gadis mama satu-satunya,” ucap mama seraya mengecup dari seberang telepon.

Love you, Ma,” balasku sambil berjalan menuju kamar nenek.

Aku membiarkan mama untuk memutus sambungan teleponya lebih dulu. Setelah itu, aku baru merebahkan diri di tempat tidur sambil melihat beberapa e-mail masuk di ponselku. Nama Mr. Alec Thompson muncul di layar. Bos bule yang jago sekali bahasa Sunda. Pertama kali mengenal beliau, aku langsung terkagum-kagum. Nyatanya, hanya namanya saja yang terdengar seperti orang asing. Pria dengan rambut berwarna pirang dan mata biru itu lahir di Garut, 60 tahun yang lalu.

Dengan salam pembuka yang khas, yaitu “Apakah kamu masih hidup, Elisha Ranum?” beliau memberitahukan, bahwa aku bisa mulai bekerja kembali sebagai freelance translator minggu depan dan tanpa harus ke kantor. Jadi, aku akan bekerja full di rumah. Sayangnya, gajiku menurun karena disesuaikan dengan bobot pekerjaan yang akan aku kerjakan. Mungkin, aku harus mencari penghasilan tambahan dari salah satu hobiku, yaitu membuat kue.

Ya, sebenarnya hanya itu hobiku. Tidak ada yang lain lagi. Aku memang sedikit malas orangnya. Tetapi, kalau sudah membuat kue, jangan harap aku mau mengerjakan hal lain karena aku bisa seharian berada di dapur.

Kriiiing!

Tiba-tiba, suara dering itu terdengar lagi dan membuat jantungku kembali berdetak kencang. Bayangkan saja, ini sudah malam, aku serta jantungku ini harus menerima kenyataan, bahwa ada bunyi telepon yang entah dari mana asal bunyinya dan aku sedang sendirian.

Kriiiing! Kriiiing!

Dering tersebut semakin terdengar dan malah menjadi semakin nyata bagiku. Aku langsung terdiam dan mencoba untuk mencari asal dari bunyi tersebut.

Kriiiing! Kriiiing! Kriiiing!

Aku terkejut bukan main karena bunyi itu seakan-akan berasal dari bawah tempat tidurku sendiri. Sungguh, aku tidak ingin sama sekali menengok ke bawah. Aku tidak ingin ada kejadian seram seperti di horror movies yang tiba-tiba ada sesosok mahluk muncul dan membuat semua orang yang melihat jadi trauma.

“Nggak ada apa-apa, El! Kamu harus lihat ke bawah biar nggak penasaran!” bentakku pada diri sendiri.

Akhirnya, dengan mengerahkan segenap tenaga, aku memutuskan untuk melihat ke kolong tempat tidur. Tidak ada apa-apa di sana, kecuali sebuah telepon tua berwarna hijau toska. Aku segera mengambil telepon itu dan memandanginya dengan tatapan bingung.

“Telepon Kakek bukan, sih? Nggak mungkin dari sini—” ucapku terhenti.

Kriiiing! Kriiiing!

Aku langsung melempar telepon tua itu ke lantai, ketika benda tersebut berdering dan membuat diriku kaget bukan main.

El,” panggil seorang laki-laki dari telepon itu.

Entah apa yang terjadi pada duniaku saat ini. Tetapi, aku benar-benar ketakutan sekarang. Kakiku mendadak lemas dan aku tidak mampu untuk berlari keluar kamar.

El, is that you?” tanyanya lagi.

“Aku harus keluar,” ucapku sambil menarik napas yang panjang. Setelah itu, aku langsung beranjak dari tempat tidur dan mencoba meraih pintu kamar. Namun, rumah nenek mendadak berguncang dan membuatku terjatuh. “GEMPA! GEMPA!” teriakku. Tetapi, percuma saja, tidak akan ada yang mendengar.

Aku masih tersungkur di lantai. Kepalaku sakit karena terbentur pinggiran meja di dekat pintu. Guncangan gempanya semakin kencang. Tetapi, anehnya rumah nenek tidak ambruk sama sekali. Hanya dinding-dinding saja yang terlihat retak.

Semakin lama terdiam, penglihatanku semakin buram. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Yang aku tahu, bila aku meninggal karena gempa, aku akan sendirian seperti nenek waktu itu.

Selamat tinggal, dunia fana!

Daftar Isi Novel Husband from the Future

Baca Juga: Novel Cassanova's Secret by Varro Kamase

Cerita time traveling memang selalu bikin penasaran. Yang sedang cari novel online murah, yuk cek langsung di Cabaca. Nikmati banyak novel berkualitas dari berbagai genre, seperti novel romantis, novel fantasi, hingga novel komedi. Semuanya bisa kamu cicipi dengan Rp5 ribu aja loh! Cek promo lainnya atau cara baca gratis dengan cara install aplikasi Cabaca di ponsel kamu sekarang!

Aplikasi baca novel berkualitas di Indonesia
Platform baca novel digital Indonesia


Suka genre yang lain? Cek di sini:

  1. Novel Romance
  2. Novel Dewasa
  3. Novel Komedi
  4. Novel Horor
  5. Novel Teenlit
  6. Novel Islami
  7. Novel Thriller
  8. Novel Fantasy


Your subscription could not be saved. Please try again.
Kamu telah berhasil subscribe. Jangan lupa buat akun Cabaca ya!

Dapatkan e-book gratis dan promo menarik lainnya!