Novel How to Serve Love Twice as Tasty by Gladistia Cuan
Novel How to Serve Love Twice as Tasty by Gladistia Cuan – Acara Sweet Time pernah menjadi kebanggaan Abee, celebrity chef muda yang kariernya menanjak pesat. Namun, di usianya yang ke dua puluh tujuh, hidupnya berubah jungkir balik. Kekasihnya berselingkuh, meninggalkan utang pula, dan posisinya sebagai host terancam. Di tengah semua kekacauan itu, ia dipaksa bekerja sama dengan Shannon—pria yang pernah menolak cintanya di masa lalu.
Awalnya, kerja sama ini terasa seperti mimpi buruk. Namun, saat fitnah mulai menghancurkan nama baiknya, dan orang-orang yang dulu mendukungnya berbalik arah, Abee menemukan kekuatan di tempat yang tak terduga.
Shannon yang ia benci, ternyata adalah orang yang paling siap membantunya bangkit. Nyatanya, seperti makanan terbaik, cinta juga butuh waktu dan kesabaran untuk menjadi sempurna.
Novel How to Serve Love Twice as Tasty
“Hidupmu akan berubah. Akan ada kejutan menarik di bulan November yang membawamu pada perubahan itu, Nona Abee.” Lipatan dahi wanita berkulit eksotis itu terlihat dalam hingga alis tebalnya bertaut sempurna setelah membaca tulisan di secarik kertas lusuh pemberian seorang peramal.
Wanita dengan bibir terpoles gincu sewarna cabai menghampiri Abee, ia merangkul bahu wanita dengan coat putih itu sembari mengintip kertas cokelat yang bagian sisi kirinya sedikit menghitam. “Itu teh kertas ramalan dari Madam Cantueq kan, masih disimpan?” tanyanya sembari mendudukkan Abee pada kursi dengan bantalan bulu-bulu warna terong. Lalu, tangan kanannya menyemprotkan wajah Abee dengan setting spray, agar chef manis asal Bogor itu terlihat bagai matahari pagi di depan kamera.
“Ramalannya setengah-setengah. Enggak ngerti deh apa maksudnya, Bell?” Abee membolak-balik kertas yang pada sisi lain bergambar roda.
Mabelle mengambil kertas itu. Matanya menyipit, mencoba mencerna kata-kata yang ditulis sang peramal. Ia pun mengusap dagu sembari mengangguk pelan. “Mungkin maksudnya kejutan menarik teh ... sesuatu yang baik.” Wanita yang sudah mengenal Abee sejak masih berseragam putih-biru itu pun menjentikkan jari. “Bulan November dipenuhi dengan banyak kejutan indah. Keburuntungan yang enggak terduga.”
Abee memutar kursi. “Aku sih enggak terlalu percaya gini-ginian, ya. Tapi, kalau maksudnya ke arah yang baik, bagus dong. Semakin banyak keberuntungan yang datang, semakin berlimpahlah kebahagiaan?”
“Betul tah,” balas Mabelle. “Oh ya, kok aku teh daritadi enggak lihat si Lucy? Biasanya mah kan dia teh udah kaya buntut kamu? Di mana ada kamu, di belakangnya teh pasti ada dia.”
Abee ingin membalas perkataan Mabelle, tetapi urung dilakukan karena benda pipih berlogo buah apel setengah tergigit miliknya berbunyi beberapa kali. Ia meminta izin untuk membaca chat dari sutradara lebih dulu, sebelum menjawab pertanyaan sahabat sekaligus rekan kerjanya.
Tiba-tiba terdengar suara cempreng memekakkan telinga, memanggil-manggil nama Abee. Membuat kedua wanita yang berada di ruang make up buru-buru menoleh ke belakang.
Wanita muda berparas oriental dengan kacamata super tebal berdiri setengah membungkuk di depan pintu. Tangan kanan memegang pinggang, sedangkan tangan kirinya mengipas-ngipas wajah yang memerah. “Ya, Tuhan. Dicari-cari di lantai satu enggak ketemu, ternyata Chef Abee balik lagi ke sini. Btw, tacap-tacap cantiknya udah selesai, kan?” tanyanya, Abee mengangguk. “Oke. Cus turun, syutingnya mau mulai tuh soalnya,” ucapnya.
Mabelle menyodorkan beberapa lembar tisu pada sutradara muda itu. “Maaf nya, Mbak Oxel. Tadi teh riasannya kaya rada-rada kurang gimana gitu, makanya aku teh poles sedikit lagi. Biar kecantikannya Abee semakin paripurna di depan kamera.”
Oxel mengangkat ibu jarinya. Kemudian, ia berjalan ke sebelah meja rias untuk membuang tisu bekas pakai ke keranjang sampah kecil.
“Ngomong-ngomong, Mbak Lucy ke mana sih? Ditunggu-tunggu enggak muncul. Dihubungi, eh, nomornya malah enggak aktif.” Ia melambaikan tangan, meminta Mabelle untuk berdiri lebih dekat. “Kalian lagi berantem, ya? Soalnya tumben banget Mbak Lucy kaya gini?”
Abee menggeleng, Mabelle pun melakukan hal yang sama.
“Aku juga dari pagi enggak bisa menghubungi dia, Mbak.” Ia menoleh ke sahabat yang berdiri di sampingnya. “Apa terjadi sesuatu sama Lucy ya, Bell?”
“Jangan mikir yang enggak-enggak deh. Pamali, Abee.” Mabelle memainkan ujung rambutnya yang baru diberi warna ungu. “Tapi, mungkin juga sih. Biasanya teh kan ya ….”
“Ya, Tuhan. Pusing deh kepala baby,” ucap Oxel setelah membaca pesan di ponselnya. Abee dan Mabelle menoleh dengan dahi mengernyit. “Kita lanjut nanti deh ya rumpi-rumpi cantik soal Mbak Lucy-nya. Sekarang kita harus cepat turun. Sebelum dua tanduk Mas Owen muncul.”
Wanita berkacamata itu menarik pergelangan tangan Abee. Chef manis itu pun buru-buru menyambar buku catatan resep miliknya yang tersimpan di atas meja, lalu memasukkan ke saku belakang celana patched jeans-nya. Abee dan sutradara yang baru bergabung sembilan bulan itu buru-buru keluar dari ruangan bata merah, yang didominasi dengan pakaian dan peralatan make up.
Abee sesekali menyapa kru lain yang melintas di hadapannya. Lalu, mereka berbelok, menuruni tangga besi hitam melingkar dengan sangat tergesa-gesa. Oxel kembali menarik tangan Abee, berjalan beriringan melewati lorong panjang yang ada di sebelah kanan.
Studio A yang terletak di Jakarta Timur—rumah kedua Abee selama lima tahun itu telah dipenuhi dengan kamera. Siap merekam aksi Abigail Goenawan dalam meracik bahan-bahan sederhana menjadi dessert simpel menggoyang lidah.
Produser Sweet Time tiba-tiba muncul dari salah satu set dengan mata melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Alisnya terangkat, lalu tangannya terlipat di dada. “Waktu adalah uang, buang-buang waktu sama saja dengan buang-buang uang!” ucapnya dengan ketus kepada Oxel dan Abee yang baru muncul.
Oxel buru-buru berdiri di samping sang produser. “Mas Owen tadi itu ….”
“Stop! Jangan katakan alasan apa pun lagi.” Ia membenarkan kacamata yang sedikit melorot. “Cepat bersiap di tempat masing-masing.” Pria dengan tinggi seratus delapan puluh lima senti itu berjalan lebih dulu sambil memangku tangan ke belakang, Oxel mendorong pelan Abee agar cepat-cepat masuk ke set yang sudah dipersiapkan.
***
“Hai, Sweetie! Kembali lagi bersama Abigail Goenawan. Di acara kesayangan kita, Sweet Time. Hari ini aku mau buat bread pudding dengan apel merah dan susu oat. Enak banget. Jadi tonton sampai habis, ya.” Kedua sudut bibir Abee tertarik dengan sangat lebar hingga lesung pipinya terlihat dalam. Kamera yang berada di hadapannya bergerak ke atas dan bawah secara bergantian, menyetujui apa yang dikatakan celebrity chef manis yang dikenal sebagai princess dessert.
Ia menaruh kotak susu yang sedaritadi dipegangnya ke sebelah mangkuk kaca berisi apel merah, yang telah dipotong seukuran dadu.
Wanita dua puluh tujuh tahun itu berjalan dengan tangan sibuk mengikat ujung headband motif apel merah, pinggang ramping bak gitar Spanyol melewati celah kecil untuk mengambil roti gandum buatannya.
Setelah menaruh roti ke meja. Kaki terbalut plimsoll sneakers merah sedikit menekuk, kedua tangannya terulur mengambil blender yang berada di rak paling atas.
Suara nyaring mesin penghalus bahan makanan itu menggema ke seluruh sudut studio seluas 28 meter x 12 meter x 12 meter. Kamera besar yang ada di hadapannya terus merekam apa yang dilakukan Abee dengan semua bahan basah.
“Jangan lupa telurnya dikocok lepas, Sweetie,” jelasnya sambil memecahkan lima butir telur secara bergantian. Lalu, mengocoknya dengan whisk kesayangan berhias apel merah favoritnya.
Kamera sebelah kanan mengambil gambar wajah Abee. Senyum seindah bulan sabit menghiasi wajah sang host. Sedangkan kamera satunya mengikuti gerakan tangan Abee yang asik menuangkan banana date smootie dari blender, mencampurnya dengan seluruh bahan.
“Masukkan biji pala dan bubuk kayu manisnya juga. Tapi jangan banyak-banyak,” jelas Abee dengan senyum yang masih betah bertengger di bibir tebalnya yang terpoles lipstik warna nude.
Owen melihat monitor yang ada di hadapannya, tiba-tiba sudut bibirnya ikut tertarik ke atas. Oxel yang berdiri di sampingnya menaikkan satu alis saat melihat sikap sang produser semakin aneh. Tiba-tiba pria berkacamata yang menumpang duduk di kursinya itu mencondongkan tubuh sambil mendekatkan kamera ponsel pada monitor, lalu menekan tanda putih bulat yang ada pada bagian tengah layar ponsel. Senyum kecil kembali tersungging di bibir tipisnya, setelah berhasil memotret wajah Abee yang sedang tersenyum dengan bawl kaca di pangkuan. Oxel mengangguk perlahan, mengerti alasan sikap aneh yang dilakukan saudara lelaki satu-satunya beberapa waktu belakangan. Akhirnya Oxel bisa menyebarkan berita hot tentang kisah cinta sang kakak saat acara pertemuan keluarga besar nanti malam.
Owen menoleh, ia buru-buru menyimpan ponsel ke saku celana bahan. “Kenapa kamu melihat saya seperti itu? Ada masalah?” tanyanya, Oxel menggeleng sembari melipat bibir. “Fokus kerja!” pintanya sambil kembali menyandarkan punggung pada kepala kursi dengan tangan terlipat dan kaki bersilang.
Ya, Tuhan. Yang harusnya ngomong gitu tuh, aku. Mas Owen yang enggak fokus kerja, fokusnya ke Chef Abee terus! Untung kakak sendiri, kalau enggak …. hmm …. Oxel memutar bola mata.
Semua kamera merekam setiap gerakan Abee yang cekatan dalam mencampur potongan roti gandum, apel merah, kurma, dan kaca almond yang telah dicincang kasar. “Sisakan kacang almond untuk taburan ya, Sweetie,” paparnya. “Tahapan berikutnya, tuangkan adonan smoothies ke mangkuk berisi roti dan bahan lainnya,” lanjutnya sembari menuangkan adonan warna cokelat itu, lalu mengaduk-aduk semua bahan sampai tercampur rata. Tak lupa, Abee pun memasukkan sedikit garam dan butter yang telah dilelehkan, agar aroma dan rasa bread pudding buatannya menjadi semakin lezat.
Adonan bread pudding buatannya telah masuk ke oven, yang berada di belakang Abee. Sembari menunggu pudding matang sempurna, Abee membuat saus dari campuran butter dengan sari kurma.
Ia menuangkan susu yang terbuat dari gandung ke boiling caramel sauce tersebut. “Pastikan suhunya tidak lebih dari seratus derajat celcius, Sweetie,” jelasnya sambil terus mengaduk-aduk saus agar tidak hangus.
Ketika Abee sibuk mengaduk-aduk saus pelengkap bread pudding-nya, denting suara oven terdengar. Abee buru-buru mengambil serbet putih yang sengaja diselipkan di pinggang. Asap putih mengepul. Aroma gurih roti gandum, butter, susu, dan manisnya apel yang terkaramelisasi menguar.
Fokus kamera beralih pada dessert yang masih berada di dalam loyang stainless steel. Dessert kesukaan Abee itu terlihat matang sempurna.
Kedua tangan Abee buru-buru mengeluarkan loyang berbahan stainless steel. Namun, ia tak bisa langsung memotong dan menyajikan puding buatannya ke piring saji. Ia harus menunggu beberapa menit sampai kepulan asap pada bread pudding tak lagi terlihat.
Oxel mengangkat ibu jari kepada Abee.
“Cut!” teriak Owen tiba-tiba, Oxel dan semua kru menoleh ke arahnya. Tangan kanannya mengacungkan ponsel. “Syuting hari ini sampai di sini dulu, kita akan lanjut besok. Saya tunggu kalian di ruang meeting. Ada hal penting yang mau saya bahas dengan kalian,” pintanya. Membuat semua kru saling memandang dengan dahi mengernyit.
Owen langsung menyambar jas abu-abu yang tersampir di kepala kursi, ia pun keluar dengan ponsel menempel di telinga.
Abee memperhatikan Owen dengan tangan menyentuh dada kiri. Kenapa tiba-tiba perasaan aku jadi enggak enak gini, ya? Ia buru-buru menggeleng. “Jangan berpikiran negatif, Abigail Goenawan. Semua pasti baik-baik aja kok.”
***
Pria bermata empat itu menyandarkan bokong ke salah satu sudut meja, dengan tangan terlipat di dada. Mata minimalis yang tersembunyi di balik kacamata terus menatap jalanan ibu kota yang kembali dipadati mobil-mobil pribadi dan bus di jam pulang kerja. Kendaraan beroda empat stuck di tempat. Serupa dengan pikirannya yang sedang stuck memikirkan masa depan program favorit yang telah dipegang selama lima tahun.
Abee melepaskan headband yang dikenakannya. Lalu, tangan kanannya merapikan bagian depan rambut dengan siku kiri menyenggol lengan Mabelle yang sudah duduk lebih dulu di ruang rapat. Ia menanyakan apa yang ingin dibicarakan Owen, wanita dengan rambut ungu itu mengedikkan bahu sembari menggeleng.
Ruangan dengan dinding berbata merah yang terpasang poster program-program memasak Glad Tv telah penuh dengan kru Sweet Time.
Owen pun berbalik, menghadap semua orang.
“Saya akan langsung bicara soal rating acara Sweet Time yang terus-menerus menurun. Pasti sebagian dari kalian, atau bahkan semuanya sudah mengetahui hal tersebut. Ini masalah besar! Kalau kondisinya seperti ini terus, dipastikan acara Sweet Time bungkus, dan diganti dengan acara lain,” ungkapnya, lalu memijat-mijat pelan kening.
Mabelle terbelalak, saat Abee tiba-tiba bangkit sambil menggebrak meja.
“Enggak bisa langsung bungkus-bungkus gitu aja dong, Mas Owen!” protes Abee. Owen menatap Abee dengan tangan terlipat di dada. “Ma-maaf, Mas Owen. Ekspresi terkejut aku emang suka berlebihan gini. Maksud aku tuh, enggak bisa langsung ….”
“Ya, bisalah!” sambar wanita yang suka menggelung rambutnya dengan pensil 2B. “Pembawaan di depan kamera, resep yang dibagikan, dan cara kamu menyajikan masakan sungguh mem-bo-san-kan, Chef Abigail Goenawan.” Dahi Abee mengernyit. “Dengar-dengar sih orang lebih suka acara memasak Chef Kelly. Lebih fresh dan menghibur. Sweet Time sepertinya akan tamat sampai di sini deh.”
Semua orang menatap Alien dengan alis bertaut.
“Bisa-bisanya Mbak Alien ngomong kaya gitu?” balas Abee, tak terima. “Lagipula Mbak Alien kan script writer-nya, kenapa ….”
Alien menjentikkan jari. “Aku ada ide. Kalau memang acara Sweet Time masih mau tayang, gimana kalau host-nya aja yang diganti sama chef lain?” usulnya.
“Stop!” pinta Owen dengan nada suara meninggi. “Kita harusnya sama-sama mencari solusi yang benar untuk masalah Abigail … hmm, maksudnya untuk masalah ini.” Ia menatap tajam Alien. “Bukan ribut-ribut berbicara tidak penting!” lanjutnya. Sang script writer memutar bola mata.
Tanpa Abee dan semua kru sadari, seseorang yang bersembunyi di balik tembok menguping pembicaraan mereka. Ia menyeringai saat melihat Abee tertunduk lemas.
Tiba-tiba dari arah berlawanan muncul office boy yang ingin mengantar minuman dan camilan ke ruang rapat. Membuat penguping itu mengendap-ngendap turun melalui tangga samping dengan jari menekan nomor seseorang.
“Berhasil! Aku akan cerita semuanya di rumah,” ucapnya sambil buru-buru menuruni tangga, agar tak diketahui sang office boy.
Baca Juga: Novel Husband from the Future by Andini Yudita Sari
Novel tentang chef selalu menarik untuk diikuti. Jika kamu mencari novel serupa, buruan cek di Cabaca. Tersedia banyak novel Indonesia terbaru berkualitas mulai dari genre romance, horor, hingga novel komedi. Modal Rp5 ribu aja loh untuk bisa nikmati serunya baca novel online bagus di ponsel kamu. Yuk, install aplikasi Cabaca untuk dapatkan lebih banyak promo seru lainnya.
Suka genre yang lain? Cek di sini:
- Novel Romance
- Novel Dewasa
- Novel Komedi
- Novel Horor
- Novel Teenlit
- Novel Islami
- Novel Thriller
- Novel Fantasy