Novel Gadis Kembang Pengantin by Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Novel Gadis Kembang Pengantin by Yusuf Mahessa Dewo Pasiro – Kasus Marsinah belum juga tuntas. Masih banyak wanita yang tertindas, sebut saja Srigading, ia bukan manusia super, ia hanya gadis pasar dan gemar memangkas rambutnya jadi pendek.
Tepat pada tahun 1995, ia tak sengaja membunuh polisi bandar togel dan miras, pembunuhan itu terjadi di belakang Pasar Jenar. Sri membunuh sebab terdesak, lantaran gadis itu hendak diperkosa.
Petang itu seluruh penjuru Purwodadi gempar dengan berita pembunuhan. Segala kebobrokan oknum penguasa dan masyarakat penggosip tergambar jelas, Srigading terfitnah, jadi bahan gunjingan. Inilah kisah keteguhan wanita dalam memperjuangkan mimpinya, kegigihan menuntunnya pada banyak rintangan dan hal tragis.
Bagaimana nasib Sri? Apa akan membusuk di balik jerjak besi dan keadilan terkubur begitu saja?
Teaser Novel Gadis Kembang Pengantin
Mataku melihat dalam gelap, bibirku merapal doa dalam sunyi,
tubuhku terinjak kaki musafir kelaparan, layu sudah.
1995....
Sri mengelap peluh yang mengalir dari keningnya. Suasana pasar sudah sangat ramai, bau ikan asin, sayuran, serta berbagai aroma khas pasar menggelitik hidungnya. Tahun ini makin banyak saja yang mempunyai kendaraan bermotor. Parkir sepeda jadi lebih susah karena harus mengatur motor-motor bising itu, Sri membatin.
“Letakkan saja di dekat tiang listrik, nanti saya rapikan barisan sepedanya!” ucap Sri pada seorang ibu berkaus biru muda bercorak bunga mawar.
“Terima kasih,” sahut si pemilik sepeda jengki.
Sri duduk di atas tumpukan karung berisi pasir. Matanya melotot, ia melihat ibunya keluar dari pintu pasar. Buru-buru Sri bangkit dan berlari menyelinap masuk ke warung kelontong milik Pak Abu. Tas selempang yang ia bawa bergelayutan menyenggol pinggul. Tas itu berisi uang receh dan terkadang digunakan untuk menyimpan kartu remi.
“Ada apa, Mbak?” tanya Pak Abu.
“Ibu saya baru keluar dari pasar, bisa gawat kalau dia melihat saya jadi tukang parkir dengan pakaian seperti pria begini,” Sri membungkuk dan mengintip dari sela-sela pintu warung.
Pak Abu menggelengkan kepala melihat tingkah Sri. “Kau itu wanita, dan kau kini memiliki penampilan seperti pria. Perangaimu itu sungguh menyenangkan dan selalu ceria. Biasanya kau akan menguncir rambut seperti ekor kuda, tetapi hari ini berbeda.”
“Saya telah memangkas pendek rambut ini. Terasa jadi lebih longgar karena rambut sudah pendek layaknya rambut pria. Saya leluasa mengenakan topi lalu meniup peluit; jadi tukang parkir hari ini di depan pasar. Kalau besok saya pasti akan berada di sawah mengangkut karungan padi. Anda jangan bilang pada ibu saya.” Sri berucap setengah berbisik.
“Kau ini, Sri-Sri! Srigading-Srigading.” Pak Abu geleng-geleng. “Tenagamu bak kuda yang tak kenal lelah. Lebih baik kau jadi kuli tetap di tokoku saja.”
“Gampang. Jangan jangka panjang, saya mudah bosan. Bekerja apa saja akan saya lakukan asal bisa makan dan membantu keuangan Ibu, Pak,” sahut Sri.
Hari-hari ia lalui dengan penuh rasa syukur. Mengantar barang, mengikuti proyek membangun saluran air, angkat batu, angkat karung semen—Sri kerjakan tanpa mengeluh.
***
Mentari merayap turun di sisi barat dan sebentar lagi akan Magrib. Sri berlari menyusuri lorong pasar yang telah sepi. Empat pria mengekor di belakang. Suara kaki Sri seperti kasut kuda yang membentur tanah. Ia terus berlari masuk jauh hingga belakang pasar.
Dadanya berdentam-dentam, napasnya memburu. Jalan buntu, ke kanan ada pintu keluar, tetapi para pria yang mengejarnya makin mendekat. Sri buru-buru menikung tajam dan keluar menuju belakang pasar—kebun pisang. Tembok beton menjadi pemisah antara pasar dengan kebun pisang itu. Komplotan pria terus mengejar dan makin cepat, alhasil salah satu pria berkepala plontos berhasil menarik kaus yang dikenakan Sri.
“Lepaskan! Kalian mau apa, huh!” Sri meronta.
“Jangan pura-pura bodoh! Bersenang-senanglah dahulu dengan kami.” Celetuk pria gundul yang tadi menarik kaus Sri.
“Berengsek! Akan kulaporkan kalian pada polisi karena melecehkanku!”
Para pria itu tergelak, mereka lalu menjatuhkan Sri ke tanah. Salah satu pria memegangi kedua tangan Sri. Sedangkan, pria gundul tadi membungkuk lalu jongkok di depan Sri. “Polisi katamu?”
Empat pria itu bersamaan tertawa terbahak-bahak. “Lihat! Dia anggota polisi, jadi kau mau lapor pada polisi mana?” Si Gundul menunjuk pria berbadan tegap yang tengah menyilangkan kedua tangan di depan dada.
“Polisi?” tanya Sri.
“Ya. Dia bandar togel, bahkan semua wanita murahan seperti dirimu juga ia punya koleksinya, kami tinggal pakai. Tak hanya itu, semua jenis miras dan obat-obatan akan aman dalam lindungannya. Jadi, jangan malu-malu kucing lagi, semua aman. Jangan pedulikan soal hukum, polisi ini akan melindungi kita.”
Sri langsung meludah tepat di wajah si gundul. Pria gundul itu naik pitam, ia mengayunkan tangan dan mendamprat pipi Sri. Pria yang memegangi Sri kehilangan fokus dan melepaskan tangan Sri. Buru-buru Sri meronta dan berdiri. Sri merogoh tasnya, ia ingat—ada benda yang bisa menggertak para begundal itu. Mendadak ia telah menodongkan sebuah pistol ke arah para pria.
“Hei! Jangan bergurau!” Si Gundul kaget nyaris memekik.
Namun, pria lainnya justru tertawa termasuk si Polisi. Polisi itu mengenakan kaus hitam dan memaki topi. Ia melangkah mendekati Sri sambil tersenyum. “Sudahlah, jangan mencoba mengancam. Mana mungkin kau punya senjata sungguhan. Penampilanmu seperti pria tetapi tubuhmu tak bisa berbohong, kau memiliki tubuh sintal binti seksi bin menggoda.”
“Aku serius akan menarik pelatuknya jika kalian terus mendekat, ini bukan mainan!” Sri menyeringai.
Daftar Isi Novel Gadis Kembang Pengantin
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Penasaran dengan kelanjutan novel Gadis Kembang Pengantin ini? Yuk, install aplikasi Cabaca. Cabaca adalah platform baca novel online yang memiliki banyak novel berkualitas, mulai dari novel romance hingga novel sejarah. Ada banyak promo novel murah hanya di aplikasi. Bayar mulai dari Rp5 ribu, kamu sudah bisa baca novel Indonesia terbaru. Buruan, download di Google Play ya!