Novel Dunia yang Bising by Kinanti WP
Novel Dunia yang Bising by Kinanti WP – Jika dilihat dari luar, Drum Lilian hanyalah seorang gadis biasa. Namun, di balik kesukaannya menyendiri dan keahliannya memainkan hampir semua alat musik, Lili adalah pemilik kemampuan membaca pikiran.
Membenci kelebihan yang dimiliki, Lili berusaha bersembunyi dengan mendengarkan musik bervolume tinggi untuk menghalau suara-suara yang tak ingin didengarnya.
Hingga pertemuannya dengan pria berkepala senyap dan permasalahan sang sahabat, membuatnya berada pada pilihan untuk mulai mendengarkan sekitarnya.
Tapi, mampukah Lili berdamai dengan kelebihannya?
Teaser Novel Dunia yang Bising
Banyak orang di dunia ini berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran orang lain. Akan tetapi tidak ada yang tahu bagaimana bisingnya dunia ini saat seseorang mampu mendengar hal-hal yang tak terungkapkan itu. Seandainya orang tahu, aku bahkan mau menukar apa saja yang kumiliki agar dapat berhenti mendengar gaung-gaung yang sangat mengganggu itu.
Memiliki kemampuan untuk membaca pikiran orang lain bukan saja tentang mengetahui segala kebohongan yang orang sembunyikan dari kita atau mengetahui rahasia-rahasia orang lain. Dapat selalu memberikan kado yang diinginkan oleh orang-orang yang kita sayangi dalam tiap momen spesial mereka, mungkin sedikit menguntungkan. Namun, mendengar rintihan kesedihan, menyimak setiap penderitaan, hingga mendapati seseorang di luar sana hendak mengakhiri hidupnya adalah hal-hal yang sama sekali tidak menyenangkan. Itu membuatku hampir jadi gila! Percayalah, semua itu tidak mudah.
Aku mungkin beruntung, karena alih-alih melemparkanku langsung ke dalam rumah sakit jiwa, mama dan papaku menemui banyak dokter saraf dan psikolog untuk dapat menyembuhkan ‘penyakitku’. Beberapa dokter dan psikolog yang pernah aku temui, diam-diam beranggapan aku gila, padahal aku tidak gila dan aku tahu kebohongan apa yang mereka buat di depan Mama dan Papa. Entah berapa puluh kunjungan ke dokter yang pernah aku lakukan saat kecil dulu, sampai kedua orang tuaku bertemu dengan Profesor Andrea Kohler. Pencarian jawaban yang sepertinya dibutuhkan oleh kedua orang tuaku itu berakhir, karena Profesor Andrea memberi kesimpulan bahwa aku memiliki kepekaan yang membuatku dapat membaca dengan jelas perasaan seseorang lewat kata-kata, emosi dan gerak tubuh. Penjelasan yang akhirnya membuat orang tuaku cukup puas itu, nyata-nyatanya jauh dari apa yang bisa aku deskripsikan tentang diriku.
Aku tidak membaca pikiran orang lain dengan kata-kata yang mereka ucapkan, apalagi gerak tubuh, karena tanpa melihat wajah dan mengetahui keberadaan mereka sekalipun aku tetap dapat membaca apa yang mereka pikirkan. Aku mendengar jeritan benak anak-anak sebayaku yang takut pada orang tua mereka yang sering menyiksa, aku menyimak spekulasi yang dibuat orang dewasa tentang hal-hal finansial hingga politik, dan aku juga menangkap detik-detik saat seseorang hendak mati. Semua itu aku lakukan tanpa perlu mengenal mereka, tanpa melihat mereka, bahkan tanpa mengetahui keberadaan mereka. Yang perlu kulakukan hanya berdiri cukup dekat dengan keberadaan mereka.
Semakin dewasa, aku belajar untuk memilah keberadaan suara-suara itu. Aku tahu dari mana sebuah suara berasal untuk dapat sekadar tak mengacuhkannya, dan aku juga tahu ke mana aku harus mencari untuk menemukan siapapun yang bisa kubantu. Namun, semua itu tak menghentikanku untuk berusaha mengusir kebisingan yang ada. Dan musik, adalah obat yang teramat indah bagi penderitaanku.
“Lil,” teriak seseorang sambil menepuk bahuku. “Buset nih anak budek kali ya,” imbuhnya dalam hati.
Aku melepas headphone yang menempel di telinga lalu bertanya, “Kenapa, Ra?”
“Lo masih ada kelas nggak? Gue nebeng dong,” pintanya.
“Iya, boleh. Ini gue udah mau balik, kok.”
“Asiikk! Makasih ya,” ucapnya. “Yes! Ngirit!” jeritnya dalam hati.
Aku tersenyum.
Tentu saja senyumku bukan untuk menjawab ucapan terima kasihnya, tapi lebih karena geli mendengar isi kepalanya. Laura adalah salah satu temanku di kampus. Dia adalah gadis manis yang punya sifat teramat irit. Bukan tanpa alasan, orang tua Laura memang hanya mampu membayar biaya kuliahnya, sedangkan untuk ongkos dan kebutuhan sehari-hari dia harus mencari tambahan. Dari yang aku simak lewat pikiran-pikirannya, Laura membiayai kehidupannya dengan honor yang didapat dari mengajar di tempat kursus musik.
“Yuk, Ra,” ucapku sambil bangkit dari duduk. Aku menyambar tas dan menyampirkannya ke bahu.
“Nanti gue turun di Nada ya, Lil,” ucap Laura menyebut tempat dia mengajar kursus. “Searah kan sama rumah lo?”
“Oke,” sahutku sambil mengangguk.
Sebagai anak jurusan musik, mengajar di tempat kursus musik atau menerima les privat memang sangat umum dilakukan oleh teman-temanku untuk mencari uang tambahan. Beberapa juga ada yang manggung untuk menampilkan kemampuan mereka dari acara ke acara. Hanya aku yang sepertinya memilih menghasilkan uang tambahan dari sesuatu yang sedikit lebih menantang, menjadi disk jockey.
Aku mulai belajar menggunakan turntable sejak masih SMA. Papa membelikanku turntable di ulang tahunku yang ke lima belas. Kado terakhir yang diberikannya sebelum meninggal itu membuat aku belajar banyak tentang musik dansa, dan setelah Mama mengizinkanku kursus DJ, aku jatuh cinta pada electronic dance music. Menekuni musik, terutama EDM, membuat aku dapat membungkam suara-suara yang tak ingin kudengar. Itu adalah salah satu alasan kenapa aku mengambil jurusan Music Design and Sound Production saat masuk kuliah dulu. Meski banyak orang menyayangkan pilihanku untuk masuk jurusan musik, aku justru mensyukuri keberanianku untuk menjalaninya.
Aku mengeluarkan kunci mobil dari saku jaket dan memencet tombol untuk membuka pintu. Laura langsung menuju kursi penumpang, sedangkan aku terlebih dahulu memasukan tas ransel ke bagasi sebelum masuk ke belakang kemudi.
“Lil, makasih banget ya gue udah boleh numpang,” ucap Laura.
“Santai aja, Ra.”
Aku memasang sabuk pengaman dan dengan segera meninggalkan halaman parkir kampus.
“Tugas Pak Dodo kemarin lo dapet nilai apa, Lil?”
“Hmm… nggak tahu deh. Gue kayaknya belum lihat. Emang udah ada ya nilainya?”
“Udah. Tadi gue sempet ngecek di web. Emang belum diumumin sih sama Pak Dodo, cuma nilainya udah masuk di web.”
“Oh,” sahutku singkat.
“Awkward,” ucap Laura dalam hati.
“Eh, lo kalau mau setel radio atau playlist di hp lo pasang aja, Ra.” Aku berusaha mencairkan suasana agar tidak canggung.
“Iya. Radio aja ya.” Laura dengan segera memencet tombol on di radio dan mencari saluran yang diinginkannya.
Lagu baru Ariana Grande mengalun, tanpa perlu diaba-aba aku dan Laura langsung ikut bernyanyi. Sebenarnya Aku tidak terlalu suka bernyanyi, batas keberanianku hanya sampai kamar mandi, mobil dan ruang karaoke, tapi sebenarnya suaraku nggak malu-maluin banget, kok. Sedangkan Laura punya suara yang teramat merdu.
Setengah jam dan belasan lagu kemudian, kami sampai di depan ruko tempat kerja Laura. Setelah mengucapkan terima kasih berkali-kali, dia turun dari mobilku dan melambaikan tangan hingga mobilku menjauh. Untuk beberapa waktu, aku masih bisa mendengar suara kepala Laura sampai aku berada cukup jauh untuk berhenti menyimak semua itu.
Berada di dalam perjalanan adalah waktu yang cukup dapat aku nikmati. Karena saat aku berada di dalam kendaraan yang bergerak kebisingan akan mengabur, melebur, dan cepat menghilang digantikan oleh suara-suara baru yang datang dan pergi. Kondisi itu membuatku tidak terlalu tersiksa karena hanya sedikit informasi yang aku dapatkan dari kepala-kepala yang ada di sekitarku. Tentunya ditambah dengan siaran radio atau musik dari playlist ponselku maka suara-suara yang mengganggu itu semakin tak terdengar.
Daftar Isi Novel Dunia yang Bising
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Mau lanjut baca novel Dunia yang Bising hingga tamat? Buruan deh, install aplikasi Cabaca untuk baca novel gratis di smartphone-mu! Caranya adalah dengan melakukan Misi Kerang atang baca gratis di program Jam Baca Nasional tiap pukul 21.00 - 22.00 WIB. Dijamin lebih nyaman dan privat jika baca novel via aplikasi. Unduh sekarang di Google Play.