Novel Drowning in You by Youra Muriz

Novel Drowning in You by Youra Muriz
Photo by Nick Russill / Unsplash

Novel Drowning in You by Youra Muriz – Satu bulan sebelum pernikahan, hidup Momina hancur berantakan. Sang kakak mendadak pingsan dan koma di rumah sakit. Hidup Momina yang nyaman menjadi rumit setelah calon suaminya menghilang dan ia terpaksa merelakan restoran keluarganya menjadi milik orang lain.

Tak cukup sampai di situ, kenyataan menyakitkan kembali menghantam ketika Momina tahu dalang dibalik ia kehilangan segalanya.

Bagaimana jika ternyata dirinya sendiri menjadi akar dari semua masalah yang terjadi? Dendam akibat cinta yang bertepuk sebelah tangan di hati Omi justru menyeretnya dalam kehancuran.

Novel Drowning in You

“Bagaimana bisa?” desis Omi dengan tangan mengepal kuat. Otaknya terus menolak kenyataan bahwa pria di hadapannya adalah pemilik baru Omi’s Steak.

“Mbak Omi, kamu ....”

Panggilan itu membuat Omi terkesiap dan seketika mundur dua langkah. Suara itu membawanya kembali ke masa sebelum hidupnya berantakan. Membawanya pada dua hari sebelum ia kehilangan senyum di wajahnya.

***

“Dek, kamu nggak siap-siap ke butik?” tanya Mohan mengingatkan sang adik sembari membersihkan debu di meja televisi di ruang keluarga rumah minimalis mereka.

Omi menyimpan ponselnya di pouch putih, “Kakak nggak lihat aku udah cantik gini, tapi temen jemputan yang Kakak bilang itu belum datang juga,” kata Omi seraya beranjak dari sofa.

“Mungkin Eshal lagi sibuk. Kakak abis ini langsung ke restoran ya. Nanti Linda bawakan makanan. Kakak nggak sempat masak. Dan besok ada Mbak Rini yang bersihkan rumah.” Mohan mengikuti sang adik hingga ke pintu kamarnya. Memperhatikan adik satu-satunya yang kini telah dewasa.

“Kakak baru pulang tadi subuh, sudah mau pergi lagi? Nggak nunggu Es Batu biar sekalian antar ke restoran?”

“Enggak. Kakak buru-buru. Kamu jangan panggil Eshal es batu lagi, nggak enak didengar.”

Omi tak menghiraukan ucapan Kakaknya hingga pria itu menghilang dari pandangan. Membahas Eshal dengan Mohan hanya akan membuat Omi emosi setengah mati.

Siang itu teriknya mentari tak bisa mengalahkan panas di hati Omi. Gadis bernama lengkap Momina itu terus menggerutu saat mobil yang ia tunggu berhenti di halaman rumahnya.

“Es, lain kali jangan telat ya. Gue nggak mau nunggu lagi,” omel Omi ketika ia memasuki mobil. Wajahnya memerah setiap kali menahan amarah. Udara panas di siang bolong menambah emosinya memuncak.

“Iya, Mbak. Maaf tadi angkat telepon ibu dulu, jadi lama.” Eshal yang merupakan supervisor di Omi’s Steak kini harus sabar menghadapi adik dari bosnya itu.

“Emang nggak bisa ditunda angkat teleponnya?”

“Maaf, Mbak. Nggak bisa.”

“Udah ayo jalan. Jangan minta maaf terus. Bisa habis nanti maaf gue buat lo semua.”

“Iya, Mbak, maaf.” Eshal  melirik Omi yang memelotot tajam padanya dan kembali berkata, “Duh, nggak jadi maaf.” Kemudian mobil itu melaju kencang membelah jalanan kota Klaten.

Sementara itu Omi memijit pelipis kirinya sembari memejamkan mata. Ia sudah cukup pusing dengan Tara—calon suaminya—yang tak bisa dihubungi sejak semalam. Sekarang ditambah Eshal yang terlambat datang, hingga membuat kepalanya semakin sakit.

Pernikahannya masih sebulan lagi, tapi jantungnya berdegub kencang setiap hari. Menyiapkan hari istimewa hanya berdua dengan sang kakak membuat Omi tak percaya diri. Jika saja orang tua mereka masih ada mungkin segalanya akan berbeda.

“Emang kenapa ibu lo tadi telepon? Ibu baik-baik aja, kan?” tanya Omi memecah kesunyian di antara mereka. Meski bukan keluarga kandung, tapi Mohan sering membawa Omi ke rumah Eshal dan ibunya meski hanya sekadar makan. Omi dan Mohan yang sejak kecil ditinggal orang tuanya itu tentu saja sangat menikmati perhatian Ibu Eshal pada mereka.

“Ibu hanya minta dibelikan minyak angin tadi. Lagi nggak enak badan.”

Jawaban singkat Eshal terabaikan begitu saja ketika mobil Rush hitam itu berhenti di depan sebuah butik yang dindingnya didominasi oleh kaca tembus pandang. Dari luar dapat dilihat jelas gaun-gaun indah yang terpasang di manekin-manekin cantik.

Tanpa basa-basi Omi keluar dari mobil. Ia berjalan dengan terburu-buru memasuki butik dengan sebelah tangan merogoh ponsel yang bergetar di pouch putihnya.

“Halo, Kak,” ucap Omi setelah menekan tombol hijau di layar ponsel.

“Sudah bisa hubungi Tara?” terdengar suara Mohan—kakak Omi—di ujung telepon. Ia lupa bertanya saat di rumah tadi.

“Belum. Mungkin dia masih sibuk ngurusin klien,” bohong Omi. Ia tahu Tara sudah selesai bertemu dengan klien dan sekarang menghilang entah kemana.

“Kalau dia meneleponmu, segera kasih tahu kakak ya. Dan jangan lupa bersikap baik pada Eshal.”

Jelas saja Omi langsung memutar bola matanya, “Oh dia suka ngadu sama Kakak?” Omi sedikit melirik Eshal yang berjalan tak jauh di belakangnya.

“Dia nggak pernah ngadu aja kakak udah tahu gimana kamu perlakukan dia.”

“Aku ini siapa sih buat, Kakak?” Omi tampak kesal. Kakaknya itu selalu memuji dan membela Eshal di segala situasi.

“Kamu adik Mohan satu-satunya yang paling disayang. Tadi kakak sudah minta Linda antarkan sarapan, sudah di makan, kan? Selama kakak nggak pulang jangan telat makan. Jangan tidur larut malam.”

Bibir tipis Omi melengkung seketika. Meski sebelumnya perempuan itu kesal. Rasanya kakaknya itu lebih memperhatikan Eshal dari pada adiknya sendiri. Dari awal mengenal Eshal, Omi merasa kehadiran pria itu adalah kutukan. Tapi setelah sang kakak mengucapkan kalimat sayang, semuanya buyar. Omi percaya Mohan sangat menyayanginya. Selama ada Mohan dalam hidupnya, Omi tak ingin yang lain.

“Iya, iya aku fitting baju dulu.”

Omi segera menutup telepon dan berjalan menghampiri pemilik butik untuk menanyakan baju pengantin yang ia pesan.

Perempuan mana yang tidak bahagia menjelang hari pernikahannya? Binar kebahagiaan itu terlihat jelas di mata Omi.

Sementara menunggu pelayan mengambilkan gaun, Omi mencoba menghubungi Tara. Sayangnya hanya suara operator saja yang ia dengar dan membuat perempuan itu semakin kesal. Di hari penting seperti ini Tara seperti tak peduli padanya.

“Sabar, Mbak,” hibur Eshal yang menemani Omi duduk di ruang tunggu. Pria itu menyunggingkan senyum lembutnya. Senyum yang bisa membuat perempuan mana pun meleleh melihatnya.

Namun, tidak dengan Omi yang terus memelototi Eshal setiap kali pria itu bersuara. Hanya Omi yang selalu mengomeli pria sabar seperti Eshal. Entah kenapa Omi tidak pernah menyukai senyum dan tatapan lembut pria itu. Wajah polos Eshal selalu membuatnya tak nyaman.

“Es, apa ada masalah di restoran?” tanya Omi yang mulai bosan menunggu. Setelah beberapa hari sibuk dengan WO dan undangan, Omi jarang bertemu dengan Mohan maupun Tara. Rasanya ada yang aneh di saat ia sibuk menyiapkan hari bahagia, Mohan tak pernah pulang ke rumah. Sang kakak yang biasanya memasak dan membersihkan rumah sendiri demi hidup hemat, kini memilih memanggil pembantu ke rumah. Serta Tara hanya menghubunginya lewat telepon.

“Enggak, Mbak.”

“Kenapa kak Mohan nggak pernah pulang?”

“Saya kurang tahu, Mbak.” Suara Eshal terdengar serak-serak basah.

Omi yang sudah cukup mengenal Eshal tidak akan memaksa pria itu untuk mengorek informasi lebih jauh lagi. Eshal yang Omi kenal adalah orang yang tidak mudah membuka mulutnya tentang sebuah rahasia.

“Lo bisa nggak ngomongnya biasa aja?” omel Omi mengalihkan pembicaraan.

“Ini udah biasa aja kok, Mbak.”

Omi memutar bola matanya ketika pelayan butik membawakan gaun yang ia pesan. Secepat kilat Omi mengambil gaun hijau model ball gown berhiaskan payet berbentuk daun di bagian dada. Dengan senyum mengembang perempuan itu segera memasuki ruang ganti yang disediakan di butik.

Alunan lagu Photograph yang memenuhi ruangan membuat suasana tenang. Tak lama kemudian Omi keluar dari ruang ganti dengan senyum malu-malu. Dilihatnya Eshal terpaku menatap penampilannya yang dibalut gaun hijau lembut.

“Gimana, Es? Bagus nggak?” tanya Omi ketika ia sampai di depan Eshal.

Beautiful. Kamu selalu cantik mengenakan apa pun,” gumam Eshal pelan.

“Apa? Panjang banget komentarnya sampai gue nggak dengar.” Omi memutar tubuhnya menghadap cermin raksasa di ujung ruangan. Diperhatikannya tubuhnya dari atas hingga bawah. Lagi-lagi senyum terukir di bibir tipisnya. Bayangan menjadi ratu sehari membuat hatinya dipenuhi pendar cahaya.

Eshal yang menatapnya dari kejauhan ikut tersenyum. Baginya kecantikan yang terpancar dari perempuan itu bukanlah dari apa yang ia kenakan, tapi dari suasana hati yang riang.

“Es, lo ngapain ikut senyum-senyum sampai nggak nyadar ponsel bunyi di tangan?” kata Omi sembari melangkahkan kaki menuju ruang ganti.

Sementara itu Eshal menyadari ponselnya berbunyi langsung saja menempelkan benda pipih itu di telinga kirinya.

“Halo, Lin. Ada apa?” Eshal memperbaiki posisi duduknya.

“Pak Han pingsan, Shal. Ini gue udah jalan ke rumah sakit. Kalau urusan lo udah selesai langsung ke restoran ya.” Terdengar suara Linda terburu-buru. Belum sempat Eshal menjawab, tiba-tiba telepon itu terputus.

Cukup lama Eshal menunggu Omi mengganti baju pengantinnya. Hingga pria itu memutuskan untuk mengetuk pintu ruang ganti.

“Mbak. Masih lama nggak? Aku harus segera kembali ke restoran,” kata Eshal seraya menempelkan telinganya di pintu. Sayangnya baru saja suaranya berhenti, pintu itu terbuka dan membuatnya hampir saja jatuh di pundak Omi.

“Kurang kerjaan banget, sih.”

Omi mendengkus kasar. Tanpa menanyakan kenapa Eshal harus segera ke restoran, perempuan itu melangkahkan kaki menuju tempat parkir setelah pamit kepada pemilik butik dan membungkus gaunnya.

Keduanya sama-sama diam dalam perjalanan menuju rumah Omi. Hanya klakson bersahutan di jalan yang terdengar. Hingga akhirnya Eshal buka suara.

“Bajunya Mas Tara gimana, Mbak?”

“Nantilah, biar dia yang urus sendiri. Gue udah capek.” Omi menyandarkan kepalanya di kursi mobil lalu melanjutkan, “Kalau udah sampai di restoran jangan lupa ingetin Kak Mohan makan ya. Biasanya kan dia lupa kalau sibuk kerja.”

“Mohan, nggak ada di restoran, Mbak.”

“Emangnya di mana?”

“Di rumah sakit. Linda tadi bilang Pak Han pingsan.”

Seketika itu mata Omi melotot tajam, “ESSHALLLL ... kenapa lo baru bilang?”

Daftar Isi Novel Drowning in You

Baca Juga: Novel Sweet Escape by Allyn Veren

Apakah kamu merasakan hidupmu sedang hancur? Hibur dirimu dengan kegiatan positif dengan membaca novel online di Cabaca. Ada banyak sekali genre yang bisa kamu nikmati, mulai dari novel tentang mental health, cerita romantis, hingga cerita seram yang bikin jantungan. Nikmati kesempatan baca novel legal mulai dari Rp5 ribu aja loh! Cek promo menarik lainnya serta program baca gratis dengan cara install aplikasi Cabaca di ponsel kamu sekarang juga.

Aplikasi baca novel berkualitas di Indonesia
Platform baca novel berkualitas Indonesia


Suka genre yang lain? Cek di sini:

  1. Novel Romance
  2. Novel Dewasa
  3. Novel Komedi
  4. Novel Horor
  5. Novel Teenlit
  6. Novel Islami
  7. Novel Thriller
  8. Novel Fantasy


Your subscription could not be saved. Please try again.
Kamu telah berhasil subscribe. Jangan lupa buat akun Cabaca ya!

Dapatkan e-book gratis dan promo menarik lainnya!