Novel Kisah Untuk Bridgia by Alina Lin

Novel Kisah Untuk Bridgia by Alina Lin
Photo by Wolfgang Hasselmann / Unsplash

Novel Kisah Untuk Bridgia by Alina Lin – Hidup sebagai orang asing di rumah sendiri sudah biasa Bridgia jalani. Dia masih bisa menahan diri, meski selalu dibandingkan dengan adiknya oleh ibunya. Ditambah terungkapnya satu fakta mengejutkan, berhasil membuat Bridgia terpuruk. Tidak ada pilihan yang bisa Bridgia ambil, selain berdiri di kaki sendiri sebagai wanita kuat.

Dalam masa sulitnya, kehadiran Radit—pria misterius yang ditemuinya di makam, membantu Bridgia untuk menerima dirinya sendiri. Namun, itu bukanlah akhir dari kisah Bridgia, melainkan awal dari kisah tak terduga selanjutnya.

Teaser Novel Kisah Untuk Bridgia

Selalu salah! Itu adalah nama tengahku. Menyedihkan, bukan? Terlebih kalau selalu salahnya di depan orang yang kusayangi.

“Aku asistensiin adik tingkat, Bu. Ini juga baru pulang kampus dari tadi pagi,” kataku sambil meletakkan tas di meja makan. Aku berniat segera membantu Ibu menyiapkan bumbu, seperti yang dilakukan Ajeng. Adikku itu sedang mengupas bawang merah dan bawang putih.

“Ajeng baru aja ajak Ibu jalan-jalan ke mal setelah gajian,” sahut Ibu.

Perpaduan antara rasa lelah dan lapar membuat nuraniku tersentil. Aku ingin sekali berteriak dan mengatakan bahwa aku juga tahu ini jadwal gajian Ajeng. Namun, semua itu hanya terpendam di otak. Tidak mungkin aku memaki Ibu.

“Nanti kalau aku sudah lulus kuliah dan kerja juga bakal ajak Ibu jalan-jalan sepuasnya.”

“Kamu itu dikasih tahu orang tua pasti jawab terus. Kamu lupa kalau Bapak telat dioperasi karena harus bayar uang semestermu?”

Membela diri bukan sesuatu yang salah, kan? Aku hanya menanggapi setiap perkataan Ibu. Setiap di ujung perdebatan, pasti Ibu membahas Bapak. Dengan begitu, aku akan diam dan tidak menanggapi perkataannya lagi. Ibu tahu titik kelemahanku.

Ajeng yang duduk di hadapanku menyunggingkan senyum. Dalam posisi seperti ini, aku tidak suka dengan perilakunya. Di mataku, senyumannya itu terkesan mengejek. Sekarang dia malah menyodorkan satu bungkus makanan sambil berucap, “Sate, Mbak. Tadi aku sama Ibu sudah makan di warung.”

“Lihat! apa-apa pasti yang diingat keluarga. Kamu harusnya contoh adikmu itu.” Ibu menyahut.

“Aku sudah makan, Jeng,” tolakku berbohong sambil menjauhkan bungkusan itu. Aroma bumbu satenya memang sedap, tapi aku menahan diri karena tidak mau membuat Ibu semakin merasa paling benar.

“Ajeng sudah baik, ingat saudara waktu senang, harusnya bilang terima kasih. Kamu itu terlalu egois, Brie.”

Kupejamkan mataku sejenak agar tidak terpancing emosi. Mau membela diri bagaimana lagi? Apa pun yang kukatakan pasti tetap salah di mata Ibu. Daripada ini semakin panjang, aku putuskan untuk mengalah dan menjauh dari mereka.

“Aku mau mandi,” kataku beralasan.

“Punya dua anak cewek, sifatnya, kok, beda 180 derajat.” Ibu mengucapkan kalimatnya dengan nyaring seolah mau memberikan pengumuman kalau akulah anak paling buruk di dunia.

Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah diam berbaring di kamar, diam yang benar-benar diam tanpa memikirkan apa pun. Pelan-pelan aku memejamkan mata sambil mengasihani diri sendiri. Tenang, aku tidak menangis. Rasanya terlalu bodoh kalau aku menangis hanya karena sindiran Ibu tadi. Sampai aku menangis darah pun, Ibu tetap akan membanding-bandingkanku dengan Ajeng. Aku yakin Ibu akan berhenti melakukan itu jika salah satu di antara kami ada yang mati.

Aku meringkuk seperti hewan kaki seribu yang baru tersentuh. Perutku yang sejak tadi siang belum terisi makanan mulai memberi gejala lapar. Hari ini aku terlalu sibuk bolak-balik antara perpustakaan, ruang dosen, dan laboratorium.

Rasa lelah langsung menguasai tubuhku ketika semakin kuperdalam pejaman mata. Persetan dengan mandi dan makan, aku hanya perlu tidur. Aku berharap saat pagi menjelang bisa mendapatkan apa yang paling kuharapkan di dunia ini. Ya, aku menginginkan pelukan hangat atau sekadar kata-kata manis dari wanita yang katanya surgaku ada di telapak kakinya.

Di saat kesadaranku perlahan menghilang, suara ketukan pintu berulang berhasil mengusikku.

“Ajeng, Mbak,” ucapnya.

Mau apa lagi anak itu?

“Mbak Brie pasti belum makan, kan? Ini, lho, satenya sayang nggak dimakan. Mbak ….” Dia mengetuk pintu lagi.

Selalu saja begitu. Di saat aku mencoba berdamai dengan ketidakadilan, Ajeng muncul di hadapanku. Dalam satu waktu, aku bisa merasakan dia memang tulus, tapi lain waktu juga melihat kalau dia seperti sedang mengejekku.

Dengan melawan rasa malas, aku bangun untuk membukakan pintu. Ajeng sudah berdiri sambil tersenyum. Dalam suasana hati yang buruk, senyuman itu ingin sekali kulenyapkan.

“Aku sudah kenyang, Jeng,” ucapku.

“Nggak papa, buat begadang. Mbak Brie biasanya ngerjain skripsi sampai Subuh, kan?” Tanpa permisi dia menaruh sate itu di meja belajar. “Mandi dulu, Mbak. Jangan langsung tidur. Jorok.”

Lagi, aku sangat benci sekaligus iri dengan sifatnya yang terkesan begitu dewasa. Karena dia, aku seperti anak pungut di rumah ini, terlebih setelah Bapak meninggal.

“Untung cantik, mandi atau enggak, tetap aja bening. Aku jadi iri,” selorohnya sambil keluar kamar.

Cantik? Apa itu menguntungkan? Bagiku sama sekali tidak berdampak untuk hidupku.

Benar kata Ibu. Aku dan Ajeng memang sangat berbeda. Kami saudara kandung rasa saudara tiri. Bukan hanya sifat, fisik kami pun semuanya berbeda. Aku memiliki kulit cerah, hidung mancung, rambut lurus, dan bentuk wajah tirus. Bola mataku juga berwarna kecokelatan. Berbeda dengan Ajeng, dia berbanding terbalik dengan segala yang ada pada diriku. Kulitnya sawo matang, wajahnya bulat dengan pipi chubby, hidungnya pesek, dan rambutnya bergelombang. Dia sangat mirip dengan Bapak. Sialnya, keberuntunganku dan Ajeng juga berbanding terbalik. Dia bisa mendapatkan perhatian Ibu dengan tulus, sedangkan aku tidak.

Seusai lulus SMA, Ajeng memilih bekerja sebagai kasir di toko tetangga yang cukup besar. Katanya mau membantu perekonomian keluarga dan mengumpulkan uang untuk kuliah. Mulia sekali, kan, niatnya?

Kemauan Ajeng itu berbeda denganku yang langsung mau kuliah setelah lulus SMA. Ambisiku sangat tinggi. Aku ingin segera membuktikan kalau aku mampu membuat kehidupan keluarga ini jauh lebih baik. Aku percaya sekolah tinggi pasti ada manfaatnya. Namun, prinsipku itu tidak sepaham dengan Ibu. Dia selalu beranggapan keputusan yang kubuat ini adalah dosa besar.

Jujur, terkadang aku kagum dengan Ajeng. Namun, terkadang pula aku tidak suka dengan sikapnya itu. Kebaikan dan kedewasaannya akan membuatku semakin terlihat jahat di depan Ibu. Andai ini kisah dalam novel atau film yang tokoh utamanya Ajeng, pasti aku berperan sebagai antagonisnya.

Sekarang aku sudah berdiri di depan cermin lemari, memandangi wajah dan tubuhku di sana. Namaku Bridgia Laksani. Kata Bapak, nama itu sangat cocok untukku. Bridgia sendiri bermakna sumber kekuatan dan penghubung yang kuat. Jika namaku kebarat-baratan, Ibu dan Bapak malah memberikan nama ‘Ajeng Wijayanti’ untuk adikku. Dari nama saja kami sudah dibedakan.

Apa mungkin salah satu dari kami bukan anak kandung? Tapi, aku yakin Ajeng itu adikku. Aku masih ingat saat bermain dengannya waktu kecil. Kalau bukan Ajeng, apakah itu … aku? Mungkin aku bukan anak kandung Ibu karena dia sangat membenciku. Namun, aku memiliki bentuk hidung yang persis dengannya.

“Kamu itu jangan sering mengalah sama mbakmu, nanti dia makin ngelunjak.” Aku mendengar suara itu dari ruang tengah. “Andai semua anak Ibu kayak kamu, Jeng, pasti Bapak masih di sini.”

Lagi dan lagi, entah sampai kapan kewarasanku masih bisa bertahan di rumah ini. Apa perlu aku menghilang dari bumi agar Ibu tahu kalau aku juga tidak mau Bapak pergi?

Daftar Isi Novel Kisah untuk Bridgia

Bab 3

Mau lanjut baca novel Kisah untuk Bridgia secara lengkap? Gak usah ragu, install aplikasi Cabaca, untuk baca novel romantis terbaru lebih nyaman dan privat di HP kamu. Cabaca adalah platform baca novel online berkualitas di smartphone-mu. Top Up Kerang cuma dari Rp5 ribu kok! Yuk, download di Play Store sekarang!

Aplikasi baca novel berkualitas di Indonesia
Cari novel online berkualitas di Indonesia


Mau baca novel genre lainnya? Cek aja di sini:

  1. Novel Romance
  2. Novel Dewasa
  3. Novel Komedi
  4. Novel Horor
  5. Novel Teenlit
  6. Novel Islami
  7. Novel Thriller
  8. Novel Fantasy