Novel Coming Home by Sefryana Khairil

Novel Coming Home by Sefryana Khairil
Photo by todd kent / Unsplash

Novel Coming Home by Sefryana Khairil – Amira dan Rayhan telah berpisah selama lima tahun. Ketika Amira akhirnya memutuskan untuk melangkah maju dengan pria lain, takdir memainkan permainan yang tak terduga. Mantan suaminya, Rayhan, tiba-tiba muncul kembali ke dalam hidupnya. Rayhan juga tidak muncul sendiri, tetapi membawa seorang putri bersamanya.

Semua kisah di masa lalu itu seharusnya sudah selesai dan Amira bisa menempuh hidup baru, seperti Rayhan yang memiliki anak saat ini. Seharusnya semua pilihan itu mudah, tetapi Amira malah menghadapi pilihan sulit tentang masa depan, kesalahan di masa lalu, dan cinta yang belum sepenuhnya padam. Ditambah lagi, Rayhan yang ternyata masih mengharapkan Amira kembali kepadanya hingga makin membuatnya kebingungan.

Apakah Amira akan memilih merengkuh Rayhan dan kesalahan masa lalunya yang menyakitkan? Atau melangkah maju di jalan yang seharusnya dia jalani sebelum kemunculan mantan suami?

Teaser Novel Coming Home

Rangkaian kereta api bergerak semakin pelan begitu memasuki stasiun Tugu hingga akhirnya berhenti. Rayhan mengenakan jaket dan ranselnya, tetapi masih tetap duduk di tempatnya, menunggu hiruk-pikuk di sekitarnya mereda. Ia merasa tidak sedang tergesa, tidak juga ditunggu. Jadi, ia memiliki banyak waktu.

Rayhan memakaikan topi merah muda bergambar Minnie Mouse di kepala Kirana, gadis kecil yang masih tertidur pulas di sampingnya, kemudian perlahan ia mengangkat tubuh anak itu dan menggendongnya. Diusapnya punggung Kirana ketika anak itu mengeluarkan suara—seperti mengigau.

Saat menapakkan kaki di peron, Rayhan mengedarkan pandangannya. Sekelilingnya penuh dengan orang berlalu-lalang. Suara pemberitahuan kedatangan kereta terdengar berbaur dengan klakson dan getar rel saat rangkaian roda ular besi memasuki jalur. Sungguh, Rayhan tidak tahu apa yang akan dilakukannya di kota ini. Dalam hatinya muncul perasaan gamang—tidak yakin dengan apa yang dijalaninya kini. Dunia sekitarnya menjadi terasa sempit, meninggalkan dirinya bersama anak yang tergolek di bahunya.

Di luar halaman Stasiun Tugu, udara pagi yang lembut bercampur dingin menyeruak ke pori-pori kulitnya. Rayhan melihat kendaraan umum—becak, andong, taksi—berjejer menunggu dan berebutan menawarkan jasa. Tidak mau menunggu lama, Rayhan lekas memilih taksi. Sang sopir lekas membukakan pintu untuknya.

Setelah mengatakan tujuannya ke Umbulharjo, Rayhan menyandarkan punggungnya. Pusat kota Yogyakarta mulai ramai. Tidak lama lagi pasti kemacetan menjalar. Kota ini memang berbeda dengan dulu saat ia kecil sampai ia kuliah di Jakarta—sekitar tahun 2003.

Dulu, di pagi hari Yogyakarta lowong dan sepi. Kalau ada yang bilang ‘macet’, itu hanyalah definisi antrean kendaraan di lampu merah—antreannya pun hanya empat sampai lima baris saja. Dan di malam hari, begitu memasuki pukul sembilan, jalanan utama Yogya sepi. Kalau sekarang kata ‘macet’ sepertinya hal yang lumrah terlihat di mana-mana di kota ini.

"Papa..." Kirana di sampingnya terbangun, menyandarkan kepalanya di lengan sang ayah. Matanya masih mengerjap-ngerjap dan mulut mungilnya menguap. "Kita sudah sampai, ya, Pa?"

Rayhan mengusap rambut putrinya. "Iya, Sayang." Lalu mengeluarkan sebungkus roti. "Makan dulu."

Anak itu menerima dengan tangan lemas. "Nana mau susu juga, Pa," katanya sambil membuka pembungkus roti.

Drrt.

Tangan Rayhan yang hendak membuka tas, terhenti. Dilihatnya nama ‘Ibu’ tertera di layar ponselnya. Tidak tahu kenapa ada perasaan enggan yang membuat ibu jarinya berlama-lama di tombol untuk menjawab, dan akhirnya ditekan juga.

"Ya, Bu?" Ada yang tertahan dalam perasaannya saat memulai percakapan.

"Kamu sudah sampai, Le? Kok ndak kasih tahu Ibu?" suara Ibu terdengar khawatir.

"Baru sampai, Bu. Keretanya terlambat satu setengah jam."

"Oh begitu, yo wis." Suara Ibu sedikit lebih tenang. "Apa Nana baik-baik, Le?"          Rayhan memindahkan ponsel ke telinga kanannya, pandangannya menelusuri kota di luar jendela. Sekilas dilihatnya Kirana, gadis kecil yang tengah menikmati roti cokelat di sampingnya. "Iya, Bu. Dia lagi makan roti."

Merasa dirinya sedang dibicarakan, Kirana menoleh. "Eyang Uti, ya, Pa?" bisiknya. Tapi sang ayah hanya tersenyum, membuatnya kembali duduk dengan mimik penasaran.

"Jangan lupa kasih Nana vitamin. Ibu taruh di kantung depan tasnya."

Rayhan menghela napas panjang. "Iya, Bu."

"Kamu ndak lupa jaket dan selimutnya Nana, to? Inget, Nana itu kalau kena udara dingin gampang flu."

"Iya, Bu." Rayhan tidak mendengar jelas apa yang baru saja dikatakan ibunya, pikirannya terlalu penuh untuk ditambahkan memori-memori baru.

"Kamu itu, Le, dari tadi iya, iya saja jawabnya." Ibu mendesah kesal. "Le, jujur Ibu masih bingung lho, buat apa kamu jauh-jauh ke Yogya? Di sana sudah ndak ada siapa-siapa. Kalau mau cari kerja, di Jakarta banyak, to?"

Rayhan memijit kepalanya yang mulai terasa pening. Bingung harus menjelaskan bagaimana lagi pada sang ibu mengenai kondisinya. Sekilas, diliriknya lagi Kirana yang masih duduk tenang dengan rotinya sembari melihat keluar jendela.

Mendengar tak ada sahutan dari putranya, Ibu melanjutkan. “Le, dinginkan kepalamu. Jangan terbawa amarah, ndak baik. Hidup yang bahagia itu, ya kalau kamu bisa melepaskan perasaan-perasaan buruk yang kamu buat sendiri.”

Rayhan mengerjapkan mata, menahan gemuruh batinnya. "Bu, sudah dulu, ya. Nanti aku telepon lagi."

"Yo wis, kamu jaga kesehatan ya? Jaga Nana. Kalau ada apa-apa, cepat telepon. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Rayhan meletakkan ponselnya, kembali menghela napas. Terasa berat. Sangat berat. Persis jalan hidupnya yang harus dilaluinya kini.

“Papa nggak mau?” Kirana menyodorkan rotinya.

Rayhan melihat putrinya dan tersenyum. “Papa udah kenyang. Nana abisin aja.”

Kirana mengangguk-anggukkan kepalanya, melanjutkan makannya dengan tenang. "Papa, kapan kita pulang? Nana kangen Eyang Uti."

Rayhan hanya tersenyum. Ia mengusap rambut putrinya. Kita sudah pulang, Nak. Tapi, ia tahu Kirana tidak akan mengerti mengapa mereka harus ke sini. Dan ia sendiri juga tidak tahu berapa lama mereka akan di sini. Setahun, dua tahun, atau mungkin... selamanya.

*

"Assalamualaikum."

Amira yang tengah merapikan berkas tugas anak-anak didiknya di ruang guru, langsung menoleh ke arah pintu. Seorang lelaki berdiri di sana. Tubuhnya cukup gagah walaupun agak kurus dan tidak terlalu tinggi. Kulitnya sedikit gelap, rambutnya berpotongan cepak, dan wajah lonjongnya tampak pas dengan kumis tipisnya. Sebuah kacamata membingkai sepasang matanya.

"Galih!" pekik Amira riang, menyambut lelaki itu.

Galih adalah teman SD Amira. Mereka bertemu kembali setahun lalu dalam sebuah reuni. Lelaki itu adalah seorang duda. Tiga tahun lalu, istrinya meninggal dalam kecelakaan saat sedang mengandung anak mereka. Sejak pertemuan itu, mereka dekat hingga sekarang.

Galih menjulurkan tangan, menyerahkan kantong plastik merah kepada Amira. "Ini ada nasi uduk komplit dari Ibu. Mau sarapan bareng?"

Amira tersenyum dan mengangguk. "Boleh. Mumpung Bu Sukma belum datang. Eh, tapi kamu nanti nggak terlambat ke kantor?" Ia tahu benar Galih, yang seorang PNS, benar-benar disiplin soal waktu.

"Nggak apa-apa. Aku sudah izin datang lebih siang," sahut Galih.

"Ya udah kalau begitu." Amira pun melangkah kembali ke mejanya, diikuti Galih di belakangnya.

"Kamu lagi ngapain?" Galih menarik kursi di sebelah meja Amira.

"Biasalah kalau mau pembagian rapor, bikin penilaian ini-itu." Amira mengeluarkan tiga piring melanin dan tiga sendok dari dalam laci mejanya. "Bilang makasih sama Ibu, ya, Lih."

"Iya, nanti aku sampein ke Ibu." Galih tersenyum. "Ibu mau masak nasi uduk komplit begini cuma buat calon menantunya lho!"

Mendengar kata calon menantu, Amira menunduk, menyembunyikan pipinya yang merona. Ia menyiapkan nasi uduk untuk Galih dan dirinya sendiri tanpa berani menatap lelaki di dekatnya.

"Oya, Mir..." Galih berdeham. "Ibu pengin aku diskusiin tentang rencana pertunangan kita."

"Pertunangan?" Amira menghentikan gerakan tangannya. Ia terkejut.

Galih mengangguk. "Kamu kapan mau aku lamar?"

Daftar Isi Novel Coming Home

Bab 1

Bab 2

Bab 3

Bab 4

Mau lanjut baca novel Coming Home hingga tamat? Yuk, baca novel tentang perceraian atau baca novel romantis lainnya dengan install aplikasi Cabaca. Cabaca merupakan aplikasi baca novel online berkualitas di smartphone-mu. Top Up Kerang mulai dari Rp5 ribu saja agar bisa baca novel digital lebih nyaman dan privat. Download di Play Store sekarang!

Aplikasi baca novel berkualitas di Indonesia
Cari novel online berkualitas di Indonesia


Mau baca novel genre lainnya? Cek aja di sini:

  1. Novel Romance
  2. Novel Dewasa
  3. Novel Komedi
  4. Novel Horor
  5. Novel Teenlit
  6. Novel Islami
  7. Novel Thriller
  8. Novel Fantasy